Abstract

The phenomenon of cultural vinegar is one of the crucial problems that often occurs among migrant communities, especially for those who migrate from the original area to the new residential area. Good consideration needs to be made to determine the success or failure of the socialization process that occurs in the new environment. The purpose of this research is to study, consider, and analyze the factors causing cultural shock and unrest in overseas students from Bengkulu and Maluku in universities that focus on Gunadarma University and how they overcome these problems. This study uses the Anxiety / Uncertainty Management Theory and intercultural adaptation theory. This study uses qualitative methods, using phenomenology and constructivist paradigms. Data collection techniques are done by interview and observation. The technique of checking validity data uses source triangulation. The results of this study show some interesting differences between overseas students from Maluku and Bengkulu that improve cultural conditions in discussion and involve social in the new environment starting from related factors (anxiety), and communication patterns used. The conclusions in this study indicate that Maluku students look more relaxed and do not consider that they really need a culture shock when they are in a new environment, while students from Bengkulu immediately point out that they really use culture shock

PENDAHULUAN

Fenomena gegar budaya dan kecemasan sosial menjadi salah satu problematika krusial yang kerap terjadi di kalangan masyarakat pendatang atau perantau. Kemampuan beradaptasi serta berkomunikasi yang baik dirasa perlu guna menentukan berhasil atau tidaknya proses sosialisasi yang terjadi di lingkungan baru tersebut. Culture Shock merupakan suatu penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang diderita orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah dari daerah asalnya menuju daerah yang baru[1]Kusumah (1990). Beberapa dari mereka yang kerap terkena kondisi gegar budaya ini adalah mereka yang disebut anak rantau bisa saja mahasiswa rantau, perbedaan budaya yang sangat kental dapat menjadi salah satu indicator mengapa kondisi gegar budaya masih begitu mudah terjadi, selain itu faktor kangen rumah ( home sick ) juga dapat menjadi faktor pendorong masalah tersebut hadir. Salah satu masalah culture shock yang sempat menjadi pemberitaan hangat di media masa pada pertengahan 2018 silam ialah kasus tindakan represif terhadap mahasiswa Papua di Yogyakarta, dilansir dari detik.com edisi, 20/4/2018. Dalam 10 tahun terakhir, puluhan kasus kekerasan yang menimpa pelajar dan mahasiswa Papua di DIY. Tidak satupun kasus tersebut yang diselesaikan secara tuntas," kata Presiden Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua di DIY, Aris Yeimo, Kamis (4/10/2018). Kasus diatas merupakan salah satu buntut dari fenomena culture shock yang terjadi. Banyaknya permasalahan mengenai gegar budaya menarik perhatian peneliti untuk meneliti perbedaan cara beradaptasi atau pola komunikasi yang diterapkan oleh mahasiswa asal Bengkulu, yang notabene berasal dari wilayah Indonesia barat dan mahasiswa asal Maluku, yang notabene berasal dari wilayah Indonesia Timur di Universitas Gunadarma. Secara historis Provinsi Bengkulu dibentuk pada tahun 1968 dengan ibu kota Bengkulu, mayoritas masyarakat Bengkulu bermata pencaharian sebagai petani ataupun nelayan. Budaya gotong royong menjadi salah satu ciri khas masyarakat Bengkulu, selain itu Bengkulu juga memiliki berbagai Bahasa daerah yang mana antar satu kabupaten dengan kabupaten lainya memiliki Bahasa yang berbeda, intonasi mereka dalam berbicarapun terbilang meninggi dengan logat khas Sumatera yang mereka miliki. Prihal bertransmigrasi atau merantau, orang-orang Bengkulu tak semasif masyarakat daerah lain seperti Padang, Sunda, dan lainya. Mungkin merantau pun hanya terjadi pada mereka yang memilih melanjutkan pendidikan di luar daerah atau berkuliah diperantauan.

Sementara, jika kita melihat daerah lainya yaitu Maluku yang secara geografis berada pada wilayah Indonesia bagian Timur. Apakah cara orang timur beradaptasi di lingkungan baru sama dengan cara-cara yang diterapkan oleh orang-orang yang berasal dari Indonesia bagian barat. Apakah ada pola komunikasi tersendiri, bagaimana dengan kontak sosial mereka terhadap lingkungan baru. Maluku bisa sedikit lebih terkenal

karena popularitas Kota Ambon meskipun diketahui daerah Maluku sendiri terbagi atas Maluku dan Maluku Utara. Sama halnya dengan Bengkulu, Masyarakat Maluku, memiliki kebiasaan atau tradisi-tradisi yang diturunkan oleh orang tua (nenek-moyang atau leluhur) yang masih di pertahankan sampai sekarang, seperti ‘Masohi’ yaitu gotong royong, masyarakat saling membantu untuk membersihkan desa, pembangunan rumah, pembangunan masjid atau gereja dan pembangunan balai desa. Selain itu, masyarakat yang berasal dari daerah timur dan barat ini terkhususnya Maluku dan Bengkulu juga dikenal solid jika berkumpul di tanah rantau terbukti dengan hidupnya beberapa paguyuban daerah di tempat baru dimana mereka tinggal. Kelebihan dari terbentuknya paguyuban ini tentu akan mempertahankan kebudayaan mereka meskipun di tempat baru, dan salah satu kelemahan yang mungkin saja dapat terjadi adalah sulit atau seganya mereka untuk berinteraksi dengan orang lain di luar kebudayaan mereka sendiri.

Salah satu hal penting lain yang harus diperhatikan dalam bersosialisasi terutama bagi mereka para pendatang ialah proses interaksi, bagaimana cara mereka berinteraksi di daerah baru dan dengan orang-orang yang baru. Menurut[2]Bimo (2003) interaksi sosial adalah hubungan antara individu satu dengan individu yang lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya, jadi terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik. Dari penjabaran di atas dapat ditarik kesimpulan betapa pentingnya proses interaksi terhadap kesan manusia dalam berdialog atau berbicara, terutama bagi mereka yang akan beradaptasi dengan lingkungan baru. Setelah memahami makna interaksi sosial yang sesungguhnya, barulah kita bisa melihat dan mengkaji cara beradaptasi dan pola komunikasi seperti apakah yang biasa masyarakat atau kelompok tertentu gunakan, khususnya bagi kelompok mahasiswa rantau asal Bengkulu dan Maluku yang berkuliah di Universitas Gunadarma. Dengan kondisi gegar budaya yang dialami tentu pola komunikasi yang digunakan hendaknya mampu mereduksi permasalahan yang tengah mereka hadapi tersebut.

Berdasarkan pemaparan di atas, hal ini menarik minat peneliti untuk melakukan penelitian mengenai Gegar Budaya dan Kecemasan : Studi Empiris pada Mahasiswa Bengkulu dan Maluku di Universitas Gunadarma dalam Beradaptasi di Lingkungan Baru baik dikaji dari segi pola Komunikasi antarbudaya maupun dalam proses interaksi sosial yang dilakukan. Peneliti akan mencoba mengkomparasikan pola komunikasi yang diterapkan oleh mahasiswa rantau asal dua daerah tersebut, apa kelebihan dan kekurangan pola komunikasi yang biasa mereka gunakan.

Culture Shock atau “gegar budaya” merupakan salah satu istilah yang sering digunakan dalam pembahasan komunikasi antar budaya. Culture Shock merupakan suatu penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang diderita orang-

orang yang secara tiba-tiba berpindah dari daerah asalnya menuju daerah yang baru[1]Kusumah (1990). Culture shock adalah fenomena yanag akan dialami oleh setiap orang yang melintasi suatu budaya ke budaya lain sebagai reaksi ketika berpindah hidup dengan orang – orang yang berbeda pakaian, rasa, nilai bahkan bahasa dengan yang dimiliki orang tersebut. culture shock akan terjadi bila seseorang memasuki suatu budaya asing, semua atau hampir semua petunjuk ini lenyap. Ia bagaikan ikan yang keluar dari air lalu akan mengalami frustasi dan kecemasanKalvero Oberg dalam[3] Mulyana (2010) Jadi ketika seseorang berada disuatu lingkungan yang mempunyai latar belakang budaya serta bahasa yang berbeda dengan yang biasa dialaminya pada lingkungan sebelumnya. Kemungkinan besar, seseorang akan mengalami perasaan yang asing dan cemas ketika dihadapi dengan culture shock Lebih jauh dijelaskan bahwa ketika manusia keluar dari zona nyaman dimana berlaku nilai-nilai baru dilingkungan tersebut, maka akan terjadi yang disebut culture shock . Culture shock adalah rasa putus asa, ketakutan yang berlebihan, terluka, dan keinginan untuk kembali yang besar terhadap rumah. Hal ini disebabkan karena adanya rasa keterasingan dan kesendirian yang disebabkan oleh benturan budaya. Berbagai reaksi ketika mengalami Culture Shock :

  1. Sikap pesimis terhadap lingkungan baru.
  2. Bingung, cemas, dan disorientasi.
  3. Takut terhadap penolakan.
  4. Sakit perut dan kepala.
  5. Homesickness atau merindukan rumah, keluarga, dan teman.
  6. Takut kehilangan status atau kehilangan rasa percaya diri

Ward[4]Ward and Furnham (2001) membagi culture shock kedalam beberapa dimensi yang disebut dengan ABCs of Culture Shock, yakni:

  1. Affective. Dimensi ini berhubungan dengan perasaan dan emosi yang dapat menjadi positif atau negatif. Individu mengalami kebingungan dan merasa kewalahan karena datang ke lingkungan yang tidak familiar baginya. Individu merasa bingung, cemas, disorientasi, curiga, , merasa kehilangan keluarga, teman-teman, merindukan kampung halaman, dan kehilangan identitas diri, dan juga sedih karena datang ke lingkungan yang tidak familiar.
  2. Behavior. Dimensi ini berhubungan dengan pembelajaran budaya dan pengembangan keterampilan sosial. Individu mengalami kekeliruan aturan, kebiasaan dan asumsi- asumsi yang mengatur interaksi interpersonal mencakup komunikasi verbal dan nonverbal yang bervariasi di seluruh budaya. Perilaku individu yang tidak tepat secara budaya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat menyebabkan pelanggaran. Hal ini juga mungkin dapat membuat kehidupan personal dan professional kurang efektif. Biasanya individu akan mengalami kesulitan tidur, selalu ingin buang air kecil, mengalami sakit fisik, tidak nafsu makan dan lainlain. Dengan kata lain, individu yang tidak terampil secara budaya akan sulit mencapai tujuan.
  3. Cognitive. Dimensi ini adalah hasil dari aspek affectively dan behaviorally yaitu perubahan persepsi individu dalam identifikasi etnis dan nilai-nilai akibat kontak budaya. Saat terjadi kontak budaya, hilangnya hal-hal yang dianggap benar oleh individu tidak dapat dihindarkan. Individu akan memiliki pandangan negatif, kesulitan bahasa karena berbeda dari negara asal, pikiran individu hanya terpaku pada satu ide saja, dan memiliki kesulitan dalam interaksi sosial. Tentu hal ini sangat berkaitan dengan tema penelitian yang peneliti ambil yaitu tentang Gegar Budaya dan Kecemasan : Studi Empiris pada Mahasiswa Bengkulu dan Maluku di Universitas Gunadarma dalam Beradaptasi di Lingkungan Baru.

METODE PENELITIAN

Pada penelitian ini peneliti menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan penelitian fenomenologi. Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan cara kuantifikasi lainnya[5]Strauss and Corbin (1997). Sementara pendekatan fenomenologi secara umum bertujuan untuk mengklarifikasi situasi yang dialami dalam kehidupan seseorang sehari-hari. Menurut Husserl, bahwa tujuan fenomenologi adalah “kembali pada realitasnya sendiri”[6]Abidin (2002). Konsep fenomenologi Husserl juga mengacu (dipengaruhi) oleh konsep verstehen dari Max Weber. Verstehen adalah pemahaman Realitas adalah untuk dipahami, bukan untuk dijelaskan. Menurut Husserl, fenomenologi sebagai minat terhadap sesuatu yang dapat dipahami secara langsung dengan indera mereka. Di mana semua pengetahuan diperoleh melalui alat sensor “fenomena”[7]Wallace and Wolf (1986). Pada penelitian ini peneliti menggunakan paradigma konstruktivisme yang dinilai relevan dengan penelitian yang dilakukan. Paradigma ini memandang Kenyataan ada sebagai hasil bentukan dari kemampuan berpikir manusia, selain itu kenyataan itu adalah sebagai hasil dari suatu konstruksi atau bentukan dari manusia itu sendiri. Pengenalan manusia terhadap realitas sosial berpusat pada subjek dan bukan pada objek, hal ini berarti bahwa ilmu pengetahuan bukan hasil pengalaman semata, tetapi merupakan juga hasil konstruksi oleh pemikiran[8]Arifin (2003).

Dalam penelitian ini, peneliti telah memutuskan untuk menggunakan 2 (dua) metode atau teknik pengumpulan data, meliputi wawancara dan observasi. Wawancara merupakan metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya[9]Kriyantono (2008) . Salah satu indikator teknik wawancara yang baik adalah wawancara mendalam (depth interview), disini peneliti akan menggunakan tahap tersebut yaitu dengan bertatap muka langsung antara peneliti sebagai pewawancara dengan informan, baik dengan atau tanpa menggunakan panduan wawancara sekalipun. Sementara observasi adalah suatu pengamatan langsung ke lapangan, selain itu akan dilakukan pengamatan serta pencatatan secara sistematik mengenai gal-hal yang peneliti temui di lapangan. Observasi adalah kegiatan mengamati secara langsung sesuatu objek untuk melihat dengan dekat kegiatan yang dilakukan oleh objek tersebut[9]Kriyantono (2008). Sementara untuk metode uji keabsahan data, peneliti menggunakan metode triangulasi sumber dimana peneliti berusaha membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informan yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif[10]Moleong (2011). Triangulasi sumber data adalah menggali kebenaran informai tertentu melalui berbagai metode dan sumber perolehan data. Misalnya, selain melalui wawancara dan observasi, peneliti bisa menggunakan observasi terlibat ( participant obervation ), dokumen tertulis, arsif, dokumen sejarah, catatan resmi, catatan atau tulisan pribadi dan gambar atau foto. Tentu masing-masing cara itu akan menghasilkan bukti atau data yang berbeda, yang selanjutnya akan memberikan pandangan ( insights ) yang berbeda pula mengenai fenomena yang diteliti. Berbagai pandangan itu akan melahirkan keluasan pengetahuan untuk memperoleh kebenaran handal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses Adaptasi dan Interaksi Mahasiswa Rantau Bengkulu dan Maluku di Lingkungan Baru.

Menurut[2]Bimo (2003) interaksi sosial adalah hubungan antara individu satu dengan individu yang lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya, jadi terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik. Sementara Kim menggambarkan adaptasi sebagai proses tiga tahap yaitu stress- adaptation-growth.

  1. Stress. Ketika memasuki lingkungan baru, pendatang baru akan mengalami stress atau tekanan akibat gegar budaya, penghindaran, atau perhatian selektif. Stress memotivasi seseorang untuk beradaptasi terhadap lingkungan baru atau lingkungan tuan rumah untuk mengembalikan keseimbangan.
  2. Adaptation. Adaptasi dapat dicapai melalui akulturasi dan dekulturasi. Dari proses pembelajaran ini adaptasi terjadi dalam bentuk transformasi pertumbuhan internal.
  3. Growth. Proses pertumbuhan tidak bersifat linear melainkan bersifat heliks yang ditandai dengan naik turunnya proses stress-adaptation.

Berdasarkan pemaparan hasil penelitian peneliti simpulkan jika beberapa hal yang membedakan antara cara beradaptasi dan berinteraksi mahasiswa/i rantau asal Bengkulu dan Maluku dilingkungan baru. Mahasiswa Maluku terlihat lebih santai dan tidak menganggap bahwa diri mereka benar-benar mengalami culture shock saat berada di lingkungan baru, hal ini dibenarkan oleh Informan Maluku 1 :

“Nggak-nggak nyampe shock gitu nggak sih, biasa aja soalnya kalo saya tipikal orang yang apasih gampang beradaptasi sama lingkungan jadi kalo menurut saya biasa aja. Paling di komunikasinya aja sih, bahasanya kadang suka belibet-belibet. Bingung kadang suka bingung pake bahasanya gimana.’’

Sementara mahasiswa asal Bengkulu langsung mensteorotip bahwa mereka benar mengalami culture shock atau bisa saja langsung masuk pada tahap stress . Hal ini disampaikan oleh Informan Bengkulu 1 :

“kesan pertama saya mungkin shock ya soalnya dari yang dari kecil ya tinggal sama orangtua terus tiba-tiba pas kuliah jadinya berpisah kayak merantau kan dari orangtua jadi kayak shock gitu, iya jadinya harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru’’.

Sementara mengenai faktor pendorong adaptasi, mahasiswa Maluku lebih mengedepankan orangtua dan teman di lingkungan baru sebagai motivasi mereka untuk bertahan dengan segala kondisi di lingkungan baru. Hal demikian siampaikan oleh informan Maluku 2 :

“Ooh, kalo bertahan sih dari orangtua, orangtua kan udah biayain kuliah, udah jauh sampe sini kan. Kalo nggak mempunyai tekad dan ini, pokoknya gitulah takut ngecewain’’

Untuk mahasiswa/i Bengkulu juga meletakan orangtua sebagai motivasi mereka untuk dapat beradaptasi dengan baik ditambah dengan kesadaran untuk mewujudkan cita-cita masing-masing dari mereka. Hal ini disampaikan oleh Informan Bengkulu 2 :

‘’Bisa dari orangtua, dari keluarga, kakak gitu, ngeliat kakak udah kerja hasilnya udah ada jadi ngelihatnya kayak pengen juga sama kayak kakak gitu’’.

Untuk hambatan adaptasi dan interaksi dari kedua pihak hampir serupa, Bahasa dan logat menjadi salah satu hambatan terbesar mereka dalam beradaptasi atau memulai hidup di lingkungan yang baru. Berdasarkan analisis pada hasil wawancara mengenai cara adaptasi budaya antara mahasiswa/i Maluku dan Bengkulu, peneliti menarik beberapa kesimpulan perihal cara beradaptasi mahasiswa rantau Bengkulu dan Maluku yang mengalami culture shock di lingkungan budaya yang baru. Pertama pada mahasiswa/i Maluku mereka melihat perbedaan apa yang mencolok antara kebudayaan asli mereka dan kebudayaan di tempat rantau. Kebanyakan orang Maluku memiliki karakteristik keras dalam berbicara karena pembawaan asli, selain itu orang Maluku dinilai memiliki tingkat solidaritas yang lebih tinggi ketimbang orang Jakarta atau Depok. Dalam adaptasi di lingkungan yang baru, hal yang masih sering terjadi pada Mahasiswa/i Maluku adalah kondisi kangen rumah ( homesick ). Untuk mengatasi kondisi kangen rumah seperti itu biasanya mereka menelpon atau mengabari orangtua mereka di kampung halaman, untuk intensitas mengabari masing-masing individu memiliki rentang waktu yang berbeda-beda. Cara lain yang biasa dilakukan ialah dengan mencari aktivitas lain seperti ngobrol dengan teman-teman di sekitar mereka. Dalam kaitanya pada teori Adaptasi Budaya mahasiswa/i Maluku telah mengalami fase readjustment atau fase penyesuaian kembali, dimana seseorang akan mulai untuk mengembangkan berbagai macam cara untuk bisa beradaptasi dengan keadaan yang ada. Seseorang mulai menyelesaikan krisis yang dialami di fase frustation . Penyelesaian ini ditandai dengan proses penyesuaian ulang dari seseorang untuk mencari cara, seperti mempelajari bahasa, dan budaya setempat. Dalam hal ini cara yang telah mereka lakukan adalah dengan membaur dengan teman- teman di lingkungan baru untuk mereduksi kondisi kangen rumah yang tengah mereka alami, secara tidak langsung mereka tengah mengalami proses pembelajaran budaya baru dari teman-teman di lingkungan baru mereka.

Sementara pada mahasiswa/i Bengkulu, mereka juga berusaha membandingkan perbedaan antara kebudayaan asli Bengkulu dan di lingkungan yang baru. Hasilnya, mayoritas dari mereka berpendapat jika Bahasa, cara berpakaian, dan perbedaan sifat pribadi antara individu di kampung dan di rantau adalah beberapa hal yang membedakan antara kebudayaan asli mereka dan kebudayaan di tanah rantau. Sementara berdasarkan teori adaptasi budaya, mayoritas mahasiswa/i asal Bengkulu ini telah sampai pada fase resolution tepatnya pada tahap accommodation dimana seseorang mencoba untuk menikmati apa yang ada di lingkungannya yang baru, awalnya mungkin orang tersebut merasa tidak nyaman, namun dia sadar bahwa memasuki budaya baru memang akan menimbulkan sedikit ketegangan, maka dia pun berusaha berkompromi dengan keadaan, baik eksternal maupun internal dirinya. Atau dalam artian mulai menerima apa adanya. Setelah tahap accommodation barulah mereka mengalami tahap Full participation , yaitu ketika seseorang sudah mulai merasa nyaman dengan lingkungan dan budaya barunya. Tidak ada lagi rasa khawatir, cemas, ketidaknyamanan, dan bisa mengatasi rasa frustasi yang dialami dahulu. Selain menghubungi kerabat via media elektronik, menyibukan diri dengan tugas kampus juga menjadi opsi bagi mahasiswa/I Bengkulu untuk tidak selalu memikirkan rumah dan kampung halaman.

Anxiety/Uncertainty pada Mahasiswa/i Maluku dan Bengkulu

Gegar budaya ( Culture Shock ) juga akan menimbulkan perasaan cemas dan ketidak pastian bagi pihak-pihak yang mengalaminya. Harus dipahami apa saja faktor yang menimbulkan perasaan cemas dan ketidak pastian tersebut, lantas apa solusi terbaik yang ditawarkan oleh mereka yang mengalami culture shock untuk mengatasi situasi sulit tersebut. Kecemasan dan ketidakpastian yang terjadi antara mahasiswa Maluku dan Bengkulu di Universitas Gunadarma selama tinggal di lingkungan yang baru menunjukan beberapa perbedaan maupun persamaan baik dari segi bentuk kecemasan dan ketidak pastian yang dialami serta solusi dalam mereduksi hal tersebut. Pada mahasiswa/i Maluku kebanyakan rasa cemas dan tidak pasti itu muncul karena faktor kriminalitas yang masih kerap terjadi di lingkup kota besar seperti Jakarta dan Depok tempat mereka tinggal, ditambah dengan keadaan mereka yang harus berani bersosialisasi dengan baik di lingkungan yang baru. Hal tersebut disampaikan oleh Informan Maluku 2 :

“Nggak ada sih, paling kayak misalnya ada isu-isu ee, apa ya kriminal kayak gitu- gitu. Isu-isu kriminal gitu sih paling takutnya gara-gara itu jadi kayak kalo mau keluar-keluar malem itu kayak suka takut, selebihnya nggak.’’

Untuk mensiasati hal tersebut mayoritas dari mereka lebih menekankan pada kesadaran akan tujuan-tujuan mereka selama merantau agar menjadi motivasi tersendiri bagi mereka untuk dapat survive dengan baik, selain itu kepandaian dalam bersosialisasi dan menjaga perasaan lawan bicara juga menjadi faktor penting untuk mendukung kelancaran mereka dalam mengatasi segala bentuk kecemasan dan ketidakpastian yang terjadi. Hal tersebut disampaikan oleh informan Maluku 3 :

“Ya biar bisa bertahan disini ya sampe semester kayak gini, ya biasanya sih ya itu bang tergantung kita bagaimana cara memilih teman, terus bersosialisasi berkomunikasi sama teman gimana biar jaga perasaan dia, biar gak ada apa ya gak ada permusuhan gitu, jadi siapa yang bisa dijadikan teman gitu bang.’’

Dalam kaitanya pada hal ini merujuk pada salah satu aksioma yang di jelaskan oleh[11] Gudykunst and Kim (2003) tepatnya Aksiom 16: semakin tinggi kemampuan kita untuk berempati kepada orang asing akan semakin tinggi pula kemampuan kita untuk memprediksi perilaku orang lain secara akurat. Dalam hal ini sesuai dengan pernyataan bahwamereka masih memikirkan perasaan lawan bicara saat akan atau sedang berkomunikasi dalam artian rasa empati terhadap lawan bicara itu perlu. Serupa dengan mahasiswa Maluku, pada mahasiswa Bengkulu rasa cemas dan ketidakpastian itu juga lebih menjurus pada kecemasan akan tindak kriminalitas yang kerap terjadi. Selain itu, perasaan cemas akan hidup sendiri di lingkungan yang baru juga menjadi salah satu masalah yang pernah dan masih mereka alami. Hal demikian siungkapkan oleh informan Bengkulu 2 :

“Cemas iya ada, misalkan kalo di di kayak di Depok tingkat kriminalitasnya lebih tinggi daripada di Bengkulu.’’

Sementara untuk solusi, mayoritas dari mahasiswa/i Bengkulu ini hampir mengutarakan jawaban yang sama , hal yang terpenting adalah harus pandai memilah mana yang baik dan yang buruk, percaya diri, serta perhatian terhadap diri sendiri. Berikut disampaikan oleh Informan Bengkulu 3 :

“Gimana ya, iya yang pasti sabar, percaya diri itu kan pasti ada terus kita bisa memilah yang mana yang benar, yang mana yang salah. Sabar, percaya diri, memilah yang benar yang salah’’.

Hal ini dapat dikorelasikan dengan aksiom 5 oleh[11] Gudykunst et al. (2003) yang berbunyi kenaikan dalam self-esteem (kebanggaan) dalam diri kita ketika kita berinteraksi dengan orang lain akan menaikkan pula kemampuan kita dalam mengatur anxiety kita. Symbolic interactionism dari Mead menawarkan self-image dengan memperhatikan bagaimana orang lain melihat kita ( the looking glass self ). Dasar itulah yang terlihat dalam aksioma di atas. Ketika kita merasa bangga pada diri kita, rasa percaya diri juga akan tumbuh. Di saat kita merasa percaya pada diri kita, kegelisahan kita akan berkurang, ketika menghadapi orang lain.

Pola Komunikasi Mahasiswa/I Maluku dan Bengkulu

Berdasarkan hasil wawancara peneliti terhadap informan Maluku menghasilkan kesimpulan bahwa mayoritas mahasiswa/i Maluku ini menggunakan tipe pola Lingkaran dan Rantai yang dapat dikombinasikan. Pola Lingkaran karena jika dalam komunikasi interpersonal mereka hanya sebatas berkomunikasi terhadap orang-orang terdekat atau yg berada di lingkaranya saja, dalam artian menganggap ia lebih solid ketika berinteraksi dengan orang satu kultur. Hal tersebut disampaikan oleh Informan Maluku 2 :

“Maluku sama Depok ya, Ee ini sih, kebersamaan jadi kalo orang Maluku itu mereka lebih solidaritasnya tinggi, satu sama lain itu tinggi maksudnya kayak saling peduli walaupun bukan keluarga, walaupun nggak deket, tapi sesama orang Maluku solid. Kalo orang sini, pas awal-awal ya, pas awal-awal banget pindah disini tu apasih lebih nggak ramah sih awalnya, kan kalo di Maluku tu kebiasaan kalo kemanam-mana walaupun nggak kenal senyum, kalo nggak tegor gitu-gitu kan. Kalo disini tu pas awal- awal tu nggak, maksudnya orang-orang disini tu nggak gitu, kita mau senyum mereka biasa aja gitu.’’

Sementara pola rantai dikarenakan adanya hal-hal yang masih menjadi pertimbangan mahasiswa/i Maluku dalam memulai obrolan terhadap orang baru, bisa saja kemungkinan mereka mengandalkan orang kedua atau teman mereka untuk memulai obrolan dengan orang yang baru di kenal. Hal tersebut disampaikan oleh informan Maluku 4 :

“kalo itu sih tergantung, tergantung situasi kalo misalnya lagi males yaudah ngandelin orang aja. Orang tu juga bisa’.’

Berdasarkan analisis di atas peneliti dapat mengasumsikan jika mayoritas mahasiswa/i rantau asal Bengkulu ini mudah terbuka dengan lingkungan baru termasuk untuk berbaur dengan orang-orang baru. Jika merujuk pada 5 tipe pola komunikasi, dapat dilihat bahwa tidak ada satupun pola yang benar-benar sesuai dengan karakteristik mahasiswa/i Bengkulu tersebut. Peneliti telah membuat tipe pola komunikasi tersendiri mengenai karakteristik orang Bengkulu ini, pola ini bersifat terbuka yang mana menggambarkan mahasiswa/i Bengkulu yang mayoritas mudah membaur, bergaul, dan terbuka dengan lingkungan baru. Pernyataan tersebut disampaikan oleh informan Bengkulu 1 :

“Menurut saya pribadi sih, saya orangnya mudah bergaul, bukan bergaul sih kayak mudah beradaptasi, berbaur gitu, karena saya orangnya sangat easy going aduh, terus gampang masuk dengan percakapan orang-orang baru gitu jadi tu saya juga tidak menutup diri buat ketemu sama teman-teman baru, orang-orang baru. Menurut saya pergaulan itu penting karena nanti kedepanya buat ee link kita kerja dan segala macamnya.’’

Terlihat ada perbedaan yang signifikan antara pola komunikasi yang diterapkan oleh mahasiswa/I Bengkulu dan Maluku dalam beradaptasi, berinteraksi, serta mengatasi kondisi ketidakpastian di lingkungan yang baru.

KESIMPULAN

  1. Berdasarkan pola jaringan komunikasi, peneiliti telah membuat pola jaringan tersendiri yang dirasa tepat untuk menggambarkan karakteristik mahasiswa/i Maluku dan Bengkulu. Mahasiswa/i Maluku cenderung berada pada pola rantai mix lingkaran. Sementara mahasiswa/i Bengkulu membentuk pola jaringan terbuka karena sikap mudah terbuka terhadap orang baru yang mereka miliki.
  2. Perihal culture shock , mahasiswa Maluku terlihat lebih santai dan tidak menganggap bahwa diri mereka benar-benar mengalami culture shock saat berada di lingkungan baru, sementara mahasiswa asal Bengkulu langsung mensteorotip bahwa mereka benar mengalami culture shock . Untuk masing-masing faktor pendorong dan penghambat adaptasi, baik mahasiswa/i Maluku dan Bengkulu hampir mengungkapkan jawaban yang serupa. Faktor pendorong adalah orangtua dan keluarga, sementara penghambat terbesar adalah Bahasa dan logat.
  3. Anxiety/uncertainty pada mahasiswa Maluku lebih menjurus kearah aksiom 16 sementara pada mahasiswa Bengkulu lebih mendekati pada aksiom 5.

References

  1. Kusumah Mulyana W., Perkembangan Bantuan Hukum. 1990; 20(2):133-133.
  2. Bimo Walgito, ANDI: Yogyakarta; 2003.
  3. Mulyana Deddy, Remaja Rosda Karya: Bandung; 2010.
  4. Ward Bochner, Furnham Routledge & Kegan Paul: Canada; 2001.
  5. Anselm Strauss, Corbin Juliet, Bina Ilmu Ofset: Surabaya; 1997.
  6. Abidin Zainal, Refika Aditama: Bandung; 2002.
  7. Wallace Ruth A, Wolf Alison, Practice- Hall Englewood Cliff: New Jersey; 1986.
  8. Arifin PT Remaja Rodaskarya: Bandung; 2003.
  9. Kriyantono Rachmat, Kencana Prenada Media Group: Jakarta; 2008.
  10. Moleong L J, PT. Remaja Rosdakarya: Bandung; 2011.
  11. Gudykunst William B, Kim Y Y, Mac Graw Hill: New York; 2003.