Abstract

This research starts from the phenomenon of the existence of Chinese Bonek (support- ers of the Persebaya Surabaya club who are of Chinese ethnicity) in the city of Surabaya. Although a minority in numbers (compared to Bonek ethnic or Javanese), the existence of Bonek Tionghoa began to be recognized among Bonek. Moreover, they also rou- tinely physically present at the stadium every time Persebaya competed. This study aims to unravel the experiences of the Chinese Bonek in supporting Persebaya, as well as understanding how they interpret that support. That experience is seen through verbal and non-verbal communication that they do, which of course implicitly has its own mean- ing and message. This research uses a qualitative approach, descriptive type, and uses the phenomenological method. Data obtained from in-depth interviews, supported by observation on the field (especially when Persebaya competed in the stadium). The find- ings of this research data show, Chinese Bonek apparently means that their support is not only as support for their favorite football club, but also as an expression of rejection of racism and discrimination that they often experience, both in daily life and in the context of the interaction of fellow supporters. The support is done through verbal communication such as singing (chant) and status or posting on social media, and through non-verbal communication such as direct attendance at the stadium, wearing a Persebaya jersey / costume, and certain gestures.

Pendahuluan

Pada proses interaksi antar manusia faktor terpenting ialah komunikasi, dan komunikasi tergantung dengan manusia (individu) yang lain di sekitarnya. Apabila individu tidak melakukan komunikasi dengan orang lain, maka mereka tidak memiliki arti hidup. Mengutip N (2000), kunci dari proses komunikasi ialah proses penyampaian pesan melalui komunikator untuk komunikan berupa lambang (simbol) yang menjadi media atau salurannya. Lambang biasanya diartikan dengan bahasa, dan pada konteks komunikasi tertentu lambang-lambang yang dipergunakan berupa gerak tubuh (gesture), warna, gambar, dan lain sebagainya.

Hampir semua peristiwa komunikasi yang terjadi pada manusia selalu menggunakan lambang-lambang verbal dan non-verbal secara bersamaan. Keduanya, bahasa verbal dan non-verbal, memiliki sifat holistik, yang masing-masing selalu digunakan dan tidak dapat dipisahkan. Dalam berlangsungnya komunikasi, bahasa non-verbal menjadi komplemen atau pelengkap bahasa verbal.

Di dunia olahraga, komunikasi juga mempunyai peran yang sangat penting, yang biasanya dikaji dalam konteks komunikasi olahraga (sport communication). Meminjam pemikiran Pendersen, et.al, dalam 2 sport communication didefinisikan sebagai suatu proses komunikasi yang melibatkan semua pihak yang terkait dengan olahraga dan juga pemilik saham dalam industri olahraga yang bersangkutan. Para pelaku komunikasi tersebut menciptakan makna interaksi melalui simbol.

Dalam konteks sepakbola, proses komunikasi tersebut diantaranya terlihat melalui pengungkapan pesan verbal ataupun non-verbal dari penggemar atau yang biasanya kita sebut dengan suporter. Dalam sepak bola, fanatisme menjadi bahasa yang banyak digunakan. 3 menjelaskan, fanatisme adalah situasi di mana seseorang ataupun kelompok yang menganut politik, agama, budaya atau ideologi lain dengan cara mengarah berlebihan untuk efek yang kurang baik dan bahkan cenderung menyebabkan permusuhan serius dan konflik. Ide tentang fanatisme disosialisasikan melalui bahasa dan tindakan fanatisme, atau bisa disebut melalui komunikasi verbal dan non-verbal.

Bahasa menjadi saluran internalisasi dan eksternalisasi dalam membangkitkan pendukung atau penggemar fanatik. Di Inggris, misalnya, fans menyebut diri mereka sebagai Red Devil (supporter klub Manchester United), Liverpudlian (suporter Liverpool), atau The Gunners (suporter klub Arsenal). Di Indonesia, adapun fans menyebut diri mereka sebagai The Jack (suporter klub Persija), Bobotoh/Viking (suporter klub Persib), Aremania (supporter klub Arema), dan Bonek (suporter klub Persebaya). Nama-nama itu merupakan ekspresi dalam upaya internalisasi dan eksternalisasi diri mereka sebagai penggemar.

Bonek adalah salah satu fans fanatik yang terbesar di Indonesia. Bonek adalah julukan fans (suporter) bagi klub Surabaya yang bernama Persebaya. Bonek atau singkatan dari “bondo nekat” yang berarti bermodal nekatd atau tekat yang tinggi. Penamaan Bonek awalnya muncul dari berita yang ditulis oleh Slamet Urip Pribadi, wartawan Jawa Pos, kala meliput pertandingan Persebaya. Penamaan Bonek tidak lepas dari upaya membangkitkan semangat suporter Persebaya yang pada pertengahan dekade 1980-an tengah mengikuti kompetisi perserikatan yang mempertemukan perserikatan sepak bola dari berbagai daerah (Junaedi, 2012).

Sebagai salah satu suporter yang terbesar di Indonesia, Bonek adalah suporter yang sangat ikonik. Bonek menjadi pelopor suporter Indonesia yang mendukung klub di laga tandang (away) ke Stadion Utama Senayan (sekarang bernama Gelora Bung Karno) secara massif dan terorganisir serta memakai atribut seragam yang berwarna hijau.

Toomey (1999) mendefinisikan komunikasi non-verbal sebagai perilaku non-linguistik (atribut) yang secara sadar atau tidak sadar digambarkan dan dikodekan melalui berbagai saluran komunikasi. Merujuk definisi Toomey tentang komunikasi non-verbal, apa yang dilakukan Bonek tersebut bisa dipahami sebagai ekspresi bonek yang ingin menyampaikan dengan sadar maupun tidak sadar terkait identitas mereka sebagai suporter yang kompak (solid) ataupun militan.

Hal ikonik lainnya dari Bonek ialah logo Wong Mangap. Logo ini muncul ketika untuk pertama kalinya Persebaya Surabaya bertandang ke Jakarta untuk melawan Persija Jakarta pada 1 Maret 1987. Logo" Wong Mangap" dibuat oleh Mister Muhtar yang telah mengkreasikan ide Dahlan Iskan dengan merujuk semangat “kepahlawanan” pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Dalam perkembangannya, logo Wong Mangap mengalami proses perubahan bentuk di tangan Budiono, kolega Mister Muhtar di Jawa Pos. Budiono memberikan warna baru pada logo "Wong Mangap" dengan lebih menghadap ke depan dan menjadi lebih naturalis ketimbang gambar awal dari Mister Muhtar yang lebih cenderung realis. Logo ini menjadi suatu kebanngaan bagi Bonek dan selalu ada dalam semua atribut Bonek. Berikut adalah gambar logo gambar "Wong Mangap" yang penuh dengan simbol keberanian pada Bonek:

Figure 1. Logo Bonek

Dalam hal ini, Bonek mengirim pesan melalui perilaku komunikasi verbal maupun non-verbal. Penggunaan syal, topi, dan aksesoris lainnya mendukung identitas mereka yang sangat militan. Sorakan, nyanyian, dan koreografi 3 dimensi di setiap tribun merupakan tanda Bonek sedang “mengintimidasi” mental klub lawan saat pertandingan. Semua simbol saling bermunculan, menandakan semangat militansi dari Bonek.

Depari dalamSuranto (2010) menjelaskan, komunikasi adalah proses penyampain pesan, pikiran, dan harapan yang disampaikan lewat lambang tertentu dan memiliki arti yang dilakukan oleh penyampai pesan dan ditunjukkan untuk penerima pesan. Dalam perspektif interaksi simbolik (Ahmadi, 2008) disebutkan, bahwa interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol-simbol yang diberi makna. Sadar atau tidak sadar, saat Bonek menggunakan atribut hijau-hijau bisa dilihat sebagai upaya Bonek mengkomunikasikan diri melalui simbol-simbol yang bermakna.

Seiring perkembangan waktu, mulai muncul kelompok-kelompok supporter dalam komunitas Bonek. Kelompok-kelompok suporter tersebut di antaranya, Green Nord’27 yang sering berada di sisi utara Stadion Gelora Bung Tomo, Tribun Kidul di sisi selatan, Tribun Timur yang berada di Timur, dan Gate Jhoner 21. Kelompok-kelompok Bonek tersebut biasanya menaungi komunitas-komunitas Bonek di banyak daerah di Surabaya.

Beragam etnis yang ada di Surabaya memunculkan warna baru dalam komunitas Bonek, yaitu munculnya komunitas Bonek dari kalangan etnis Tionghoa. Kelompok Bonek beretnis Tionghoa sebenarnya sudah pernah ada sebelumnya, dan mereka tergabung dalam komunitas Bonek Oriental. Hampir semua anggota komunitas Bonek Oriental adalah keturunan etnis Tionghoa. Mereka mempunyai identitas mereka sendiri yang digambarkan melauli logo yang mereka buat. Kombinasi antara Yin dan Yang berwana merah dan kuning, ditambah logo kota Surabaya yaitu Suro dan Boyo, dan diberi tambahan gambar pohon bambu yang merepresentasikan Negara Tirai Bambu yaitu Negeri China.

Figure 2. Logo Bonek Oriental

Menurut 8, komunikasi non-verbal adalah penyampaian pesan atau informasi yang dikomunikasikan tidak dengan kata-kata atau non-linguistik. Penggunaan logo oleh Komunitas Bonek Oriental pada waktu itu bisa dilihat sebagai keinginan untuk menunjukkan identitas mereka sebagai warga Tionghoa yang mencintai Persebaya. Bonek Tionghoa (Bonek Oriental) ini mendukung Persebaya dengan berbagai cara, misalnya menonton langsung di stadion, menggelar bakti sosial seperti bagi-bagi takjil saat bulan puasa bersama Bonek lain. Eksistensi Bonek Tionghoa waktu itu meluas dengan cepat di kalangan Bonek lainnya.

Namun seiring waktu, jumlah anggota Bonek Tionghoa (Bonek Oriental) terus berkurang dan yang bertahan hanya beberapa orang. Menurut Aditya Pratama (Cak Ganonk), salah satu tokoh Bonek yang diwawancarai peneliti, Bonek Oriental tidak bisa bertahan karena tidak ada regenerasi. Setelah lulus sekolah atau kuliah, mereka fokus bekerja atau meneruskan usaha orangtua. Walaupun berkurang, secara individu Bonek Tionghoa masih tetap ada untuk mendukung langsung Persebaya di stadion. Berikut adalah logo Bonek Oriental:

Guilianotti dan Amstrong dalamJunaedi (2012) mengemukakan, suporter sepakbola pada dasarnya adalah topophilia, yang membangkitkan kedekatan (proximity) dengan tempat tinggal mereka. Begitu juga dengan Bonek Tionghoa. Walaupun minoritas atau berbeda etnis, tetapi mereka mempunyai kedekatan dengan bonek, entah itu mereka sejak kecil di Surabaya atau pengalaman lainnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini bertujuan mengetahui komunikasi verbal dan non-verbal Bonek Tionghoa ini, berikut cara mereka memberi makna pada pengalaman komunikasinya sendiri. Penelitian ini bisa digunakan untuk mengisi kekosongan dalam riset-riset sebelumnya tentang supporter sepakbola (atau olahraga lain) yang jarang mengaitkannya dengan problem sosiologis seperti etnisitas atau ras.

Penelitian-penelitian sebelumnya tentang supporter sepakbola, seperti dilakukan 9, Ariyanto (2017), Fuller (2016), 12 , 13 , Lukman (2018), Munsur (2018), Nasikhah and Setyowati (2015), 17, Ramadhan (2016), Soedewi (2014), Syadzwina and Warsa (2014), atau Setyowati (2013), kebanyakan berfokus pada aspek-aspek kekerasan, gender, perilaku agresif, fanatisme, komunikasi kelompok, atau citizenship.

Problematika supporter sepakbola masih jarang dilihat dari sudut pandang etnisitas atau ras yang memiliki kompleksitas sosiologis atau komunikasi yang juga kompleks. Penelitian ini ingin menonjolkan problematika di sekitar identitas etnis atau ras di kalangan Bonek Tionghoa yang dilingkupi oleh masih adanya tindak rasisme di kalangan supporter sepakbola.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode fenomenologi, sebuah metode yang dipakai untuk mencari arti dari pengalaman kehidupan. Peneliti menghimpun data berkenaan dengan konsep, pendapat, pendirian, sikap, penilaian, dan pemberian makna terhadap situasi atau pengalaman dalam kehidupan. Edmun Husserl dalam 20 menyebutkan tujuan penelitian ini ialah menemukan makna dari hal-hal yang esensi atau mendasar dari suatu pengalaman.

Subjek analisis penelitian ini adalah Bonek Tionghoa yang tergabung dalam komunitas maupun tidak tergabung dalam komunitas. Pemilihan subjek penelitian dilakukan melalui beberapa pertimbangan, diantaranya beretnis Tionghoa, tinggal di Surabaya dan ikut andil terhadap perkembangan sepak bola Indonesia khususnya di kota Surabaya. Ada beberapa informan yang dipilih, yaitu; I Nyoman Ardana (anggota Komunitas Bonek Oriental), Aditya Pratama (anggota Komunitas Bonek Oriental), Marco Nugroho (Bonek Tionghoa), dan Yeslia Naomi (Bonek Tionghoa).

Data diambil melalui wawancara mendalam (depth interview), dengan merujuk pada langkah-langkah yang direkomendasikan oleh 21. Dijelaskan, wawancara fenomenologis melibatkan tiga langkah wawancara, yaitu: (1) berfokus terhadap pengalaman hidup, (2) berfokus pada detail pengalaman, dan (3) berfokus pada bagaimana subjek merefleksikan pengalamannya sendiri. Selain pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam, penelitian ini juga didukung observasi lapangan dan dokumentasi.

Hasil dan Pembahasan

Menolak Rasisme dengan Hadir di Stadion

Menurut Taylor dan Porter 12 , sifat fundamental dalam masyarakat pluralistik adalah tidak adanya pengakuan terhadap keberadaan sikap etnis yang diakui dalam kelompok yang berbeda, baik di dalam kelompok maupun di luar kelompok. Stereotype berupa konsepsi yang tetap mengenai satu kelompok etnis tertentu. Ketika kita melekatkan stereotype tertentu pada orang lain bedasarkan identitas etnis mereka, pada dasarnya kita melakukan identifikasi pada mereka pertama kali sebagai bagian dari kelompok.

Dalam komunikasi multikultural dan masyarakat yang pluralis, yang berbahaya adalah ketika identifikasi ini dilakukan dalam sifat negatif yang dilekatkan pada individu yang berasal dari etnis minoritas. Walaupun pada dewasa ini dalam sepak bola masih ada pihak-pihak yang melakukan diskriminasi atau tindakan rasis, sepakbola tidak lagi sekedar pertandingan 2 x 45 menit, tetapi sepak bola telah memberi pelajaran   terhadap refleksi kemanusiaan. Salah satunya tentang multikulturalisme.

Sepakbola menjadi cabang olahraga yang paling multikultural di antara cabang lain (Handoko, 2008). Sepakbola juga menjadi salah satu olahraga yang berhasil mendobrak sekat sosial, kultural, etnis, agama, ideologi, dan negara. Menurut subjek I Nyoman Ardana yang waktu itu menjadi tokoh Komunitas Bonek Oriental, misi utama komunitas Bonek Oriental adalah selain mendukung Persebaya langsung di lapangan juga menjadikan dukungan langsung di lapangan tersebut menjadi kampanye anti-rasisme. Dia mengatakan, selalu membawa syal dan aksesoris lain ketika “mbonek”.

Sebagaimana ditegaskan Mulyana dalam (Ahmadi, 2008), esensi dari interaksi simbolik adalah aktivitas komunikasi atau pertukaran simbol-simbol yang diberi makna. Para subjek penelitian ini, (baik Nyoman maupun Marco, dan Naomi) sama-sama menganggap bahwa Bonek Tionghoa mempunyai tujuan sama yaitu mendukung Persebaya, yaitu selain mendukung Persebaya juga mengekspresikan penolakan terhadap tindakan rasis yang sering mereka terima dalam kehidupan sehari-hari sekaligus mengkampanyekannya.

Ketiganya juga berharap, Bonek Tionghoa generasi berikutnya harus lebih sering menunjukkan eksistensinya dengan mendukung Persebaya langsung di lapangan. Harapan Nyoman untuk lebih mengeksiskan Bonek Tionghoa ini ditunjkukan melalui laman Facebook-nya   yang   banyakmenyuarakan narasi toleransi. Selain Nyoman, pendahulu Komunitas Bonek Oriental seperti Ganonk juga mempunyai harapan besar kepada Bonek Tionghoa untuk ikut meneruskan spirit “ngeyel” dari Bonek dan keberagaman Komunitas Bonek Oriental waktu itu.

Para subjek ini melihat kehadiran di dalam stadion sebagai sebuah kampanye anti-rasisme dan diskriminasi. Mereka percaya melalui olahraga sepakbola semua orang bisa belajar bahwa perbedaan kultural bukanlah ancaman. Merujuk Handoko (2008), sportivitas sepakbola dapat dimaknai juga dengan sikap inklusif, tidak hanya pemain tetapi juga seluruh pihak yang berhubungan (pelatih, suporter, wasit, dll). Artinya, sepakbola menurut mereka adalah pelajaran untuk menghilangkan segenap etnosentrisme, fanatisme sempit, dan eksklusivisme sempit.

Jersey Sebagai Identitas dan Spirit Keberagaman

Penggunaan Jersey bagi pendukung klub sepakbola merupakan identitas yang kuat bagi fans sebagai pengenal baik oleh komunitasnya sendiri maupun komunitas lawan 15. Jersey atau pakaian juga bisa menjadi mediasi komunikasi non-verbal. Jersey sebagai mediasi komunikasi tidak hanya sebagai menunjukan identitas, melainkan juga bisa menjadi upaya pembentukan citra penggunanya kepada orang lain.

Subjek Marco juga menggunakan jersey sebagai identitas atau pengenalnya sebagai pendukung Persebaya (Bonek). Marco juga menjadikan jersey sebagai mediasi komunikasi non-verbal untuk menunjukkan walaupun ia beretnis Tionghoa, ia juga bagian dari Bonek. Sekaligus dia ingin menunjukkan bahwa Bonek bisa berasal dari semua golongan dan tidak ada sekat-sekat antar ras, agama, ideologi, dan kelas sosial.

Derrida dalamMunsur (2018) menjelaskan, sebuah produk akan memiliki fungsi karena makna baru yang timbul dari persepsi lain. Dalam hal ini, produk kaos sepakbola dengan fungsi kebutuhan permainan sepakbola pada klub mengalami perubahan fungsi karena pemaknaan ulang dari sisi penggemar atau pendukung klub sepakbola. Subjek Marco dan Nyoman memaknai bahwa jersey atau kaos bisa menjadi sebuah media campaign secara non-verbal yang efektif. Mereka menganggap jersey atau kaos adalah sebagai simbol kebanggan mereka menjadi orang Surabaya. Harapan mereka, walaupun mereka dari etnis Tionghoa, mereka ingin berkomunikasi (melalui jersey) bahwa mereka mempunyai hak yang sama untuk menyukai suatu klub kebanggaan kota mereka lahir, yaitu Persebaya.

Menurut 15 , penggunaan jersey bagi pendukung klub sepakbola merupakan identitas yang kuat bagi fans sebagai pengenal baik oleh komunitasnya sendiri maupun komunitas lawan. Jersey atau pakaian juga bisa menjadi mediasi komunikasi non verbal dengan menggunakan pesan artifaktual. Pesan artifaktual menurutRakhmat (2003) adalah pesan yang diungkapkan melalui penampilan tubuh seperti pakaian dan kosmetik. Begitu juga yang dilakukan oleh Bonek Tiongho. Bonek Tionghoa ingin menggunakan jersey sebagai alat untuk berkomunikasi bahwa dirinya juga bagian dari Bonek walaupun beretnis Tionghoa.

Dalam 9 dijelaskan, bahwa interaksi simbolik merupakan interaksi manusia dengan menggunakan simbol- simbol yang mempresentasikan apa yang mereka maksudkan dengan sesama dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran atau simbol- simbol terhadap perilaku pihak-pihak yang terlihat dalam interaksi sosial. Menurut para subjek (Marco, Nyoman, dan Naomi), penggunaan jersey atau kaos hijau adalah sebagian dari identitas bahwa kita warga Surabaya yang mendukung klub kebanggaannya yaitu Persebaya. Selain sebagai identitas, menurut mereka pakaian adalah spirit keberagaman yang ditunjukkan secara non-verbal. Saat menggunakan atribut Persebaya, menurut mereka ada suatu kebanggaan tersendiri.

Mediasi menggunakan atribut Persebaya (jersey, kaos, syal, topi dan lain-lain) merupakan bentuk komunikasi non-verbal untuk menunjukan bahwa mereka sama-sama Bonek. alaupun beretnis Tionghoa, mereka ingin menunjukkan bahwa mereka juga mempunyai rasa cinta terhadap Persebaya. Mereka juga yakin dengan menggunakan jersey atau atribut lainnya, sepakbola menjadi olahraga yang menyatukan semua sekat antar ras, agama, sosial dll.

Hall dalam (Soedewi, 2014) berpandangan, bahwa identitas budaya dapat dipahami melalui dua cara, yaitu sebagai kebudayaan bersama serta semacam “jati diri” bersama, dengan latar belakang sejarah dan leluhur yang diyakini sama. Selain sebagai alat mengkampanyekan keberagaman, jersey Persebaya juga dipahami sebagai identitas budaya, karena Persebaya telah menjadi kebanggaan dan salah satu identitas masyarakat Surabaya.

Para subjek (Marco, Nyoman, dan Naomi) memaknai jersey tidak hanya sekedar baju yang menempel saat mendukung klub Persebaya di stadion. Mereka memaknai jersey sebagai simbol atau alat komunikasi untuk mengkampanyekan keberagaman di Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika. Mereka juga menjadikan jersey atau kaos sebagai kampanye anti-rasisme dan anti- diskriminasi. Mereka ingin menunjukkan bahwa sepakbola bisa menyatukan semua kalangan dan tidak ada sekat-sekat antar etnis, ras, agama, maupun golongan tertentu.

Tidak Merasa Terasing Meskipun Minoritas

Suranto (2010) menjelaskan, proses komunikasi verbal adalah sesuatu aktivitas interaksi penyampaian dan penerimaan pesan yang dilakukan dengan cara percakapan (lisan) maupun tulisan. Unsur pada komunikasi (simbol) verbal sebagaimana dijelaskan oleh 9 ada empat yaitu; bahasa, intonasi, nada, dan suara. Saat Bonek Tionghoa menyanyikan chant di dalam lapangan, mereka secara tidak langsung berkomunikasi dengan cara verbal dan ingin menyampaikan hal tertentu.

Unsur komunikasi verbal seperti bahasa menjadikan kalimat yang mengandung makna. Intonasi juga merupakan lagu kalimat atau gabungan dari berbagai macam- macam tanda yang biasanya disebut dengan tekanan nada, tempo dan jeda dalam mengucapkan satu kalimat. Selain itu ada nada, yang merupakan jenis unsur suprasegmental (intonation atau pitch) yang ditandai oleh tinggi rendahnya arus ujaran. Unsur yang terakhir ialah suara, suara merupakan salah satu identifikasi makhluk hidup.

Dilihat dari sudut pandang komunikasi non-verbal, ada kemiripan antara komunikasi non-verbal dengan penggunaan pesan paralinguistik. Pesan paralinguistik menurutRakhmat (2003) adalah pesan non-verbal yang berhubungan dengan cara mengucapkan pesan verbal. Dalam pesan paralinguistik terdiri atas nada, kualitas suara, volume, kecepatan, dan ritme.

Biasanya, selain menyanyikan chant saat mendukung langsung di lapangan, biasanya Bonek juga membarenginya dengan gerakan non-verbal atau bisa disebut dengan koreo (gerakan yang terkoordinir). Koreo atau gerakan tubuh biasanya dilakukan oleh Bonek secara sengaja untuk mendukung atau memperkuat penggunaan bahasa verbal seperti saat bernyanyi. Gerakan yang tidak sengaja pun biasanya terjadi saat pemain memasukan bola ke gawang lawan. Koreo atau gerakan tubuh dalam hal ini juga bisa dibilang komunikasi non-verbal dengan pesan kinestetik (gerak tubuh).

Pesan kinestetik, menurutRakhmat (2003) adalah pesan yang menggunakan tubuh yang terdiri dari tiga faktor utama yaitu pesan fasial, pesan gestural, dan pesan postural. Pesan gestural biasanya dilakukan oleh Bonek beriringan dengan pesan fasial. Pesan gestural menunjukkan gerakan sebagai anggota badan seperti mata dan tangan untuk mengkomunikasikan berbagai makna. Menurut Gallowey (Rakhmat, 2003), pesan gerstural dilakukan untuk mendorong, membatasi, menyesuaikan, mempertentangkan, responsif/tak responsif, perasaan positif/negatif, memperhatikan/tidakmemperhatikan, melancarkan atau tidakreseptif, menyetujui/menolak.

Sedangkan pesan fasial terkait dengan mimic wajah yang mengkomunikasikan ekspresisenang dan tak senang. Menurut 23 wajah dapat menyampaikan paling sedikit sepuluh kelompok makna, yaitu: kebahagiaan, rasa terkejut, ketakutan, kemarahan, kesedihan, kemuakan, pengecaman, minat, ketakjuban dan tekad. Leathers dalam (Rakhmat, 2003) menyimpulkan, wajah dapat mengkomunikasikan beberapa hal. Misalnya, mengkomunikasikan penilaian dengan ekspresi senang dan tak senang, Wajah juga dapat mengkomunikasikan perasaan berminat atau tak berminat pada orang lain atau lingkungan,wajahdapat mengkomunikasikan   intensitas keterlibatan dalamsuatu situasi, wajah dapatmengkomunikasikan tingkat pengendalian individu terhadap pernyataan sendiri, dan wajah dapat mengkomunikasikan adanya atau kurangnya pengertian.

Para subjek (Marco, Nyoman, Naomi) menceritakan bagaimana perasaannya saat Persebaya menang maupun kalah. Menurut Marco, mimik wajah tidak bisa dibohongi. Marco menjelaskan saat mendukung Persebaya langsung di stadion dan Persebaya mengalami hasil seri atau kekalahan, ia merasakan perasaan jengkel, kecewa, dan gemas melihat performa Persebaya. Sebaliknya, saat Persebaya menang Marco menjadikannya sebagai motivasi dan mendapatkan eforia.

Knapp dalam (Rakhmat, 2003) menyebutkan ada lima fungsi pesan non-verbal, yaitu repetisi (mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara verbal), subsitusi (menggantikan lambang- lambang verbal), kontradiksi (menolak pesan verbal atau memberikan makna yang lain terhadap pesan verbal), komplemen (melengkapi dan memperkaya makna pesan nonverbal), dan aksentuasi (menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinya).

Selaras dengan apa yang dikatakan Knapp, para subjek penelitian menceritakan bahwa kedatangan mereka datang ke stadion tidak hanyauntuk mendukung Persebaya. Kehadiran itu juga mereka pahami sebagai keinginan mengkomunikasikan apa yang mereka ingin komunikasikan. Saat mendukung Persebaya selain mendukung dengan gerakan tubuh (koreo), mereka juga ikut bernyanyi atau nge-chant. Jadi apa yang dilakukan oleh mereka selaras dengan pandangan Knapp bahwa fungsi dari komunikasi non-verbal adalah bagaimana menggantikan atau memberikan makna yang tidak dapat diberikan oleh komunikasi verbal. Walaupun mereka beretnis Tionghoa, yang notabene secara fisik identitasnya sudah bisa diketahui, mereka ingin menunjukkan kepada Bonek lainnya bahwa sepakbola milik semua golongan. Walaupun beretnis Tionghoa dan minoritas, mereka tidak menunjukkan “keterasingan.” Mereka bahkan percaya diri untuk bergabung atau berkelompok dengan Bonek lainnya, untuk menunjukkan bahwa sepa bola bisa diperlakukan sebagai pemersatu bangsa dan menolak perilaku rasis dan diskriminatif.

Bonek Tionghoa dan Media Sosial

Diri dalam interaksi simbolik ialah individu berinteraksi dengan individu lainnya sehingga menghasilkan suatu ide tertentu mengenai diri. Konsep diri adalah keseluruhan persepsi kita mengenai cara orang lain melihat kita (Ayun, 2015), di mana seorang individu telah belajar untuk mengenal gambaran diri mereka melalui interaksi simbolik selamma bertahun-tahun dengan individu yang berada di sekelilingnya.

Komunikasi verbal, menurut 25 , adalah bentuk komunikasi yang disampaikan komunikator kepada komunikan dengan cara tertulis (written) atau lisan (oral). Sebagaimana yang dilakukan Bonek Tionghoa saat menggunakan aplikasi Instagram dengan fitur Instagram Story, Bonek Tionghoa ingin mengkomunikasikan perasaannya yang mangkel atau senang saat mendukung Persebaya dengan tulisan yang mereka unggah di Instagram Story.

Mead dalam (Ayun, 2015) memahami interaksi simbolik sebagai interaksi di antara manusia, baik verbal maupun non-verbal untuk memunculkan suatu makna. Selain BonekTionghoa ingin mengkomunikasikan kepada followers-nya bahwa ia adalah seorang Bonek, Bonek Tionghoa juga ingin menunjukan bahwa etnis Tionghoa juga mempunyai hak untuk mendukung Persebaya ataupun menjadi Bonek.

Selain memanfaatkan media sosial sebagai komunikasi untuk menunjukkan identitas diri, Bonek Tionghoa juga memanfaatkan media sosial sebagai nilai diri (nilai-nilai individu) dan ekspresi diri. Nilai individu, menurut Gudykunst dalam (Ayun, 2015) merupakan nilai-nilai personality yang dimiliki individu dalam mempertahankan dan menjaga kepercayaan diri seseorang ketika melakukan komunikasi. Dalam menggunakan media sosial Bonek Tionghoa menunjukkan nilai-nilai personal yang ia miliki.

Selain menjadikan media sosial sebagai nilai diri atau konsep diri, subjek Naomi juga menjadikan media sosial sebagai self constractuals (ekspresi diri). Kesukaan subjek Naomi saat mengekspresikan dirinya melalui media sosial tidak bisa ditebak, kadang dia mendukung Persebaya dengan kata- kata atau bahasa pujian atau malah sebaliknya. Subjek Naomi juga biasa mengekspresikan kekesalannya (dalam Bahasa Jawa disebut maido) Persebaya saat permainnanya kurang bagus.

Mead dalam (Ayun, 2015) menjelaskan bahwa diri memiliki dua sisi masing-masing tugas penting, yaitu diri yang mewakili ‘saya’ sebagai subjek (I) dan ‘saya’ sebagai objek (me). Jika saya sebagai objek ialah dimana konsep diri yang terbentuk dari pola-pola yang teratur dan konsisten yang dipahami oleh individu dan dipahami oleh orang lain yang bersama dengannya. Sedangkan yang dilakukan subjek Naomi adalah saya sebagai subjek, di mana bagian dari diri saya yang bersifat menuruti dorongan hati, tidak teratur, tidak langsung, dan tidak dapat diperkirakan.

Menurut 25 pada dasarnya bahasa adalah suatu sistem lambang yang memungkin orang berbagai makna. Dalam komunikasi verbal, lambang bahasa yang digunakan adalah bahasa lisan, tertulis pada kertas ataupun elektronik. Terkait dengan ini, subjek Marco membuat Instagram Story untuk menegaskan bahwa dukungannya kepada Persebaya tidak hanya diekspresikan melalui kehadiran di stadion. Konten Instagram Story itu merupakan cara subjek Marco untuk menunjukkan totalitasnya dalam mendukung Persebaya agar diketahui Bonek lainnya.

Selain subjek Naomi dan Marco, subjek Nyoman juga aktif mendukung Persebaya di media sosial, yaitu Facebook. Menurut subjek Nyoman, Facebook adalah platform yang pas baginya untuk mengekspresikan unek-uneknya tentang semua hal. Sebagai anggota Komunitas Bonek Oriental, Nyoman sudah sejak lama menjadikan laman Facebook untuk menyuarakan hal-hal tentang anti-rasisme dan kesetaraan. Tidak hanya tentang Persebaya dan Bonek, Nyoman juga menyikapi semua isu tentangtoleransi.   

Nyoman menceritakan, sudah sejak lama ia menyuarakan tentang toleransi di laman Facebooknya. Walaupun sudah jarang mendukung Persebaya dengan langsung ke stadion karena disibukan pekerjaan, Nyoman tetap memperhatikan atau mengikuti berita-berita yang muncul di media mainstream tentang Persebaya dan Bonek.

Para subjek (Naomi, Nyoman, Marco) menjadikan media sosial sebagai saluran komunikasi verbal dengan menggunakan kata-kata (caption) dan tambahan foto untuk menunjukkan kecintaan terhadap Persebaya dan menjadi Bonek. Menurut mereka, media sosial juga bisa menjadi tempat atau platform untuk menunjukan identitas mereka yang beretnis Tionghoa yang menjadi Bonek. Bahwa tidak masalah bagi etnis Tionghoa untuk mendukung Persebaya dan menjadi Bonek, karena mereka yakin sepak bola dan suporter itu milik bersama dan tidak terbatas apapun.

Kesimpulan

Komunikasi verbal dan non-verbal di kalangan Bonek Tionghoa tidak hanya digunakan untuk mendukung Persebaya semata. Selain ingin menunjukan semangat, dukungan, kecintaan, kebangaan, kesetiaan, solidaritas, loyalitas serta totalitas, mereka juga memaknainya sebagai ekspresi sikap atau kampanye menolak rasisme yang tidak hanya ada di dunia sepakbola, tetapi juga masyarakat Surabaya (bahkan Indonesia). Bonek Tionghoa memaknai kehadirannya di lapangan untuk mendukung langsung Persebaya saat bertanding sebagai kampanye toleransi atau anti-rasisme. Bonek Tionghoa percaya melalui olahraga, salah satunya sepakbola, semua orang bisa belajar bahwa perbedaan kultur bukanlah ancaman. Bonek Tionghoa juga memaknai dukungan langsung ke stadion sebagai ekspresi totalitas dalam mendukung Persebaya Surabaya.

Jersey atau pakaian juga dimaknai sebagai tools untuk mengkampanyekan secara non-verbal tentang keberagaman, dan menjadikan jersey sebagai identitas bahwa mereka memiliki kedekatan (proximity) terhadap Persebaya maupun Bonek. Bonek Tionghoa memaknai jersey sebagai simbol atau alat komunikasi untuk mengkampanyekan keberagaman Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika. Selain itu, mereka ingin menyampaikan bahwa jersey atau pakaian menunjukkan bahwa sepakbola bisa menyatukan semua kalangan dan tidak ada sekat-sekat antar etnis, ras, agama, maupun golongan tertentu. Mendukung Persebaya langsung di stadion dan mengikuti gerakan (koreo) dan ikut bernyanyi juga dimaknai sebagai keinginan mengkomunikasikan secara verbal dan non-verbal bahwa mereka bagian dari Bonek. Bonek Tionghoa juga menggunakan media sosial sebagai menjadi saluran komunikasi verbal dengan menggunakan kata-kata (caption) dan komunikasi non-verbal seperti tambahan foto maupun video. Media sosial dijadikan sebagai tools komunikasi untuk membagikan tentang toleransi.

References

  1. N Effendy, O., PT. Citra Aditya Bakti: Bandung; 2000.
  2. SyadzwinaWarsa Andi Widya, Fenomenologi Perilaku Komunikasi Suporter Fanatik Sepakbola Dalam Memberikan Dukungan Pada PSM Makassar”. Jurnal Komunikasi Kareba. 2014; 3(1):1-7.
  3. Setyowati Nanik, Violent Behavior in Football (Social Phenomenon in in The Fooball- Surabaya Bonek Supporters). Research on Humanities and Social Sciences. 2013; 3(6):148-157.
  4. Junaedi Fajar, Buku Literia: Yogyakarta; 2012.
  5. Toomey Stella Ting, The Guilford Press: New York; 1999.
  6. Suranto Graha Ilmu: Yogyakarta; 2010.
  7. Ahmadi Dadi, Interaksi Simbolik: Suatu Pengantar. Mediator: Jurnal Komunikasi. 2008; 9:301-316.
  8. Budyatna Muhammad, Ganiem L. M., Kencana: Jakarta; 2011.
  9. Alamsyah Muhammad Iqbal, Prasetyo Iwan Joko, Persebaya dan Bonek: Simbol-Simbol Komunikasi Supporter Sepakbola Komunitas “Syndicate Bonek Keputih (SBK)”. Communicatus: Jurnal Ilmu komunikasi. 2019; 2(2):203-216.
  10. Ariyanto Ari, Gender Construction of Women as Maung Geulis in Indonesian Football. Humaniora. 2017; 8(1):89-89.
  11. Fuller Andy, Soccer and the city: the game and its fans in Solo and Yogyakarta”. Sport in Society. 2016; 20(5-6):675-688.
  12. Fuller Andy, Junaedi Fajar, Ultras in Indonesia: conflict, diversification, activism. Sport in Society. 2018; 21(6):919-931.
  13. Lucky Novie, Setyowati Nanik, Fenomena Perilaku Fanatisme Suporter Sepak Bola (Studi Kasus Komunitas Suporter Persebaya Bonek di Surabaya)”. Kajian Moral dan Kewarganegaraan. 2013; 1(1):180-195.
  14. Lukman Oka Permana, Komunikasi Kelompok Antar Anggota Koordinator dan Anggota Kelompok SuporterPersebaya Surabaya (Bonekmania) dalamMemperbaiki Citra. Jurnal E-Komunikasi. 2018; 6(2):1-10.
  15. Munsur Irfandi, Analisis Penambahan Fungsi dan Makna Seragam (Jersey) Pada Pendukung Club Sepak Bola. Narada: Jurnal Desain & Seni. 2018; 5(1):109-130.
  16. Nasikhah Zuhrotun, Setyowati Rr. Nanik, Peran Koordinator Bonek Dalam Mengendalikan Perilaku Agresif Supporter Persebaya (Bonek) di Surabaya”. Kajian Moral dan Kewarganegaraan. 2015; 1(3):345-360.
  17. Octavianti Regina, Hutapea Bonar, KONTRIBUSI PERAN GENDER DAN KONFORMITAS TERHADAP AGRESIVITAS REMAJA PUTRI SUPORTER SEPAKBOLA. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni. 2018; 1(2):221-221.
  18. Ramadhan Muhammad Syahrul, Analisis Suporter Sepakbola “Bonek” di Kota Surabaya. Jurnal Kesehatan Olahraga. 2016; 6(2):587-596.
  19. Soedewi Sri, Artikulasi Jersey Persib. Pantun Jurnal Ilmiah Seni Budaya. 2014; 2:54-67.
  20. Moleong Lexy J., PT.Remaja Rosdakarya: Bandung; 2016.
  21. Seidman Irving, Teachers College, Columbia University.: New York; 2006.
  22. Handoko Anung, Kanisius: Yogyakarta; 2008.
  23. Rakhmat Jalaluddin, PT. Remaja Rosadakarya: Bandung; 2003.
  24. Ayun Primada Qurrota, Fenomena Remaja Menggunakan Media Sosial dalam Membentuk Identitas. CHANNEL Jurnal Komunikasi. 2015; 3(2):1-16.
  25. Kusumawati Tri, Indah Komunikasi Verbal dan NonVerbal. Jurnal Pendidikan dan Konseling. 2016; 6(2):83-98.