Abstract

Peter Ludwing Berger is a productive sociologist, especially in the study of the sociology of knowledge. Learning a lot from his teacher, Alfred Schutz, made Berger loudly reject the idea of ​​positivism which for him was more or less inhumane compared to the flow of phenomenology. Through the concept of sociology, Berger's knowledge sees reality as two: objective and subjective. Berger agrees with Karl Marx's anthropological presupposition about the objective reality of humans as a socio-cultural product, however, in the subjective reality, human beings are organisms that have certain tendencies in society and are interpretive. To understand what is real for society, Berger formulates his theory of reality construction in three stages: externalization, objectification, and internalization.

PENDAHULUAN

Berger adalah seorang sosiolog yang produktif. Karyanya “ The Social Construction of Reality[1]Berger and Luckmann (1966)” yang ditulis bersama Thomass Luckmann adalah salah satu karya paling penting dalam sosiologi interpretative. Bukunya yang berjudul Invitation of Sociology (1963)1 juga merupakan karya yang berpengaruh secara luas sebagai pengantar sosiologi untuk para akademisi ilmu sosial. Karya Berger meliputi teori sosial, sosiologi pengetahuan, sosiologi agama, dan kajian tentang modernisasi serta perubahan sosial yang menggabungkan masa lah teologis dengan politik praktis (Hunter dan Ainlay, 1986)[2]Stolley (2005). Jabatan penting yang pernah disandang oleh Berger adalah Presidency of Society for The Scientific Study of Religion.

Sementara pendampingnya, Thomas Luckmann lahir pada tahun 1927. Ia adalah Professor sosiologi dari Universitas Constance Jerman. Selain menulis bersama Berger, Thomas Luckmann juga pernah menulis bersama Alfred Schutz pada tahun 1982 dengan judul “ Stuctures of The Life World”. Thomass Luckman adalah teoretisi yang tertarik pada sosiologi pengetahuan, sosiologi agama, sosiologi komunikasi, dan filsafat ilmu.

Keduanya (Berger dan Luckmann) adalah pemikir yang tertarik pada sosiologi pengetahuan dan sosiologi agama, terlebih pada sosok Berger yang sejak tahun 1981 menjadi professor sosiologi dan teologi di Boston University, dan sejak tahun 1985 menjadi direktur di Institue on Culture, Religion and World Affairs. Perpaduan di antara dua pemikir tersebut pada akhirnya mencetuskan kosepsi sosiologi pengetahuan yang harus menekuni segala sesuatu yang dianggap sebagai pegetahuan oleh masyarakat. Karena penguasaan Berger terhadap bahasa-bahasa Eropa (terutama bahasa jerman), Berger memiliki akses yang luas pada sumber-sumber awal sosiologi di Eropa, terutama karya-karya Max Weber dan Emile Durkheim. Selain itu Berger juga memiliki akses pada karya Max Scheler tentang akar pembahasan sosiologi pengetahuan.

Salah satu penyebab lahirnya teori konstruksi sosial adalah pertanyaan Berger mengenai apa itu kenyataan. Pertanyaan tersebut muncul akibat dominasi dua paradigma filsafat; empirisme dan rasionalisme. Melalui konsepsi sosiologi pengetahuan, Berger pada akhirnya berhasil menjawab pertanyaannya dengan rumusan “ kenyataan obyektif ” dan “ kenyataan subyektif ”.

Bagi[1]Berger et al. (1966), manusia berada dalam kenyataan obyektif dan subyektif. Dalam kenyataan obyektif, manusia secara struktural dipengaruhi oleh lingkungan di mana manusia tinggal. Dengan kata lain, arah perkembangan manusia ditentukan secara sosial, dari saat lahir hingga tumbuh dewasa dan tua. Ada hubungan timbal-balik antara diri manusia dengan konteks sosial yang membentuk identitasnya hingga terjadi habitualisasi dalam diri manusia. Sementara itu, dalam kenyataan subyektif, manusia dipandang sebagai organisme yang memiliki kecenderungan tertentu dalam societas. Dalam hal ini subyektifitas manusia bermain dalam lingkungan sosialnya. Individu telah mengambil alih dunia sosial yang telah membentuknya sesuai dengan kreatifitas yang dimiliki oleh tiap individu.

Dengan penjelasan historis mengenai konsepsi sosiologi pengetahuan, Berger dan Luckmann menyeleksi bentuk-bentuk pengetahuan yang mengisyaratkan adanya kenyataan sosial di sana (Berger dan Luckmann, 1990: xviii-xix)[3] Berger and Luckmann (1990). Sosiologi pengetahuan harus mampu melihat pengetahuan sebagai struktur kesadaran individual dan mampu membedakan pengetahuan dan kesadaran. Pengetahuan ialah kegiatan yang menjadikan suatu kenyataan menjadi kurang lebih diungkapkan, sementara kesadaran menjadikan seseorang lebih mengenal dirinya ketika sedang berhadapan dengan kenyataan tertentu. Pengetahaun lebih menekankan pada urusan antara subyek dengan obyek yang berbeda dengan diri sendiri, sedangkan kesadaran lebih berurusan dengan subyek yang sedang mengetahui dirinya sendiri.

Fokus awal Berger memang pada dialok-dialok keagamaan atau sosiologi agama yang kemudia n beralih pada apapun yang menyangkut everyday life. Melalui pendekatan fenomenologi, Berger menekankan pentingnya pengalaman keagamaan manusia yang dapat dilembagakan dalam berbagai tradisi dan institusi yang berusaha mengikat pengetahuan maupun perilaku dari masyarakat yang menjadi pemeluknya[4]Berger (1981).

Berger melihat adanya penyimpangan-penyimpangan dalam penggunaan agama sebagai obyek untuk melegitimasi tindakan individu yang kemudian dilembagakan pada lingkungan sosial-masyarakatnya. Mari kita lihat kembali Beger dan Luckmann dengan sosiologi pengetahuannya yang ingin menggambarkan bahwa ada “ kenyataan ” dan “ pengetahuan ” dalam masyarakat. Berger dan Luckmann menyadari dengan pasti adanya konstruksi realitas sosial dalam masyarakat, dan yang lebih parah lagi adalah ketika realitas sosial tersebut dilegtimasi menggunakan nilai-nilai agama.

Realitas agama bagi Berger bersifat mutlak karena selalu melibatkan atau didasarkan pada nilai keimanan. Bahkan Berger menyebutkan jika realitas agama ini selalu rentan terhadap pengaruh-pengaruh yang bermotif duniawi.[5]Berger (1991) . Berger[6] (1990b: 7-8)Berger (1990) melihat fenomena keduniawian atau ekonomi menjelajahi matriks dan konteks sosial, politik, dan budaya di mana proses-proses ekonomi ini bekerja. Dengan ini Berger menyebutkan konsep “ budaya ekonomi ” menarik perhatian pada hubungan antara keduanya yang harus dicari oleh penelitian semacam itu.

Dalam hal ini Berger juga terpengaruh oleh fenomena kapitalisme global. Berger setuju dengan pendapat Karl Marx yang menghubungkan suatu ekonomi kapitalis dengan tipe stratifikasi tertentu yang telah ditunjukkan dengan kategorisasi “kelas”. Berger sangat setuju dengan pandangan Marx yang menyebutkan bahwa kapitalisme memang telah menghapuskan tipe-tipe stratifikasi lain (misalnya feodalisme) bagi keuntungan suatu sitem kelas yang lain, meskipun banyak juga karakterisasi khusus Marx dalam sistem tersebut yang tidak disetujui oleh Berger. Dengan ini Berger membuka ruang bagi penelitian tentang hubungan antara kapitalisme dan demokrasi dan, lebih jauh lagi hubungan antara kapitalisme dan gabungan nilai yang biasa disebut sebagai “individuaisme”. Bagi Berger, suatu teori komprehensif tentang budaya ekonomi kapitalisme hanya akan muncul melalui sebuah penelitian sistematis mengenai hubungan-hubungan tersebut, yang dapat dilakukan oleh ilmuwan sosial.

Berger menyebutkan bahwa dalam dewasa ini pertumbuhan ekonomi merupakan hasil dari pemakaian atau perkembangan teknologi dalam produksi dan pendistribusiannya. Semua proses ini tidak terjadi di ruang hampa, semuanya nyata dan terikat oleh ruang dan waktu. Proses ini memiliki konsekuensi pada semua lembaga dan segenap kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Proses inilah yang dikenal sebagai modernisasi.[7]Berger (1982)

Perkembangan teknologi di atas dengan sendirinya mendorong masyarakat untuk memiliki pengetahuan tertentu atau khusus perihal teknologi yang melingkupi pekerjaannya. Berger et. al dengan bahasa fenomenologi menyebutkan bahwa pengetahuan itu mengendap di dalam kesadaran sekalipun tidak dapat ditematisasikan. Pengetahuan-pengetahuan mengenai “ spesial is” berkembang dalam masyarakat dewasa ini. Pegetahuan ilmiah dan teknologis ini bersifat rasional sehingga masyarakat dapat meningkatkan peran sertanya melalui pelatihan tertentu.[8]Berger, Berger, and Kellner (1992)

METODE PENELITIAN

Artikel ini disusun menggunakan metode studi literatur. Analisis tidak berdasarkan studi lapangan secara langsung, melainkan melalui kajian sejumlah literatur, baik sumber pustaka buku, jurnal dan dokumen ilmiah lain yang relevan ataupun mendukung kajian ini. Lebih lanjut, analisis dalam tulisan ini difokuskan pada kajian-kajian mengenai sosiologi Berger, yakni konstruksi realitas sosial.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Basis Epistemologis Teori Konstruksi Realitas Sosial

Munculnya teori konstruksi realitas sosial Peter Berger dan Thomas Luckmann dilatarbelakangi oleh dukungannya pada tradisi Fenomenologi Husserl yang dengan lantang menolak logika positivistik. Husserl menilai bahwa positivistik tidak mendatangkan kebenaran yang sebenar-benarnya karena hanya mengandalkan data yang nampak (empiris) untuk melihat realitas sosial.

Bagi Husserl positivisme merasa bahwa kepastian hanya dapat diperoleh melalui metodologi investigasi yang hanya bergantung pada data empiris -kuantitatif, sedangkan fenomenologi berpendapat bahwa apa yang kita ketahui pasti terdiri dari kesan mental internal kita. Selama ini positivism e membatasi metodologinya hanya pada hal-hal yang nampak; fenomenologi berfokus pada “esensi” mereka sebagai manusia atau hal-hal metafisika atau mentasi manusia yang interpritivibilis.[9]Gordon (1990)

Esensi manusia yang interpritivibilis tersebut dikembangan dan dikonsepsikan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann sebagai sosiologi pengetahuan. Ia membedakan realitas sebagai “ kenyataan ” dan “ pengetahuan”. Apa yang nyata bagi seseorang belum tentu nyata bagi seseorang lainnya. Hal ini berlaku sama pada pengetahuan. Misalnya “pengetahuan” seorang penjahat yang berbeda dengan “pengetahuan” ahli kriminologi. Dengan demikian “kenyataan” dan “pengetahuan” berkaitan dengan konteks-konteks sosial yang spesifik, dan bahwa hubungan-hubungan itu harus dimasukkan ke dalam analisa sosiologis yang memadai mengenai konteks-konteks khusus tersebut (Berger dan Luckmannn, 1990: 1).[3]Berger et al. (1990)

Dalam memandang realitas sosial, fenomenologi Berger sangat dipengaruhi tradisi fenomenologi pandahulu-pendahulunya, yakni Edmund Husserl dan Alfred Schtuz. Sekali lagi, Husserl dengan lantang menolak segala penjelasan logika-logika formal. Jika kegelisahan Husserl di atas dikonkretkan, maka kira-kira demikian: Benarkah kebenaran mengenai “ Apakah keadilan” itu hanya seper ti yang disampaikan oleh ahli hu kum, jaksa, atau polisi? Sedangkan nenek Minah (yang diadili karena mencuri tiga kakao), Prita (yang diseret ke pengadilan karena email keluhannya), kesepuluh anak Tangerang (yang dimeja-hijaukan dan dijebloskan ke penjara karena bermain “judi-judian” di bandara) itu tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang “Apakah keadilan” itu? (Riyanto, 2014: 26).[10]Riyanto (2014)

Obyektifitas penegak hukum di atas mengenai apa itu keadilan jelas memisahkan ide-ide formal dengan subyek yang mengalami. Jelas bahwa obyektifitas penegak hukum dekat dengan paradigma positivistik-absrtaktif, sedangkan metode feomenologi dengan subyektifitas yang digagas dapat mendeklarasikan pengetahuan konstektual-personal.

Riyanto (2014: 27)[10]Riyanto (2014) menyebut bahwa feomenologi Husserl berbeda dengan Hegel. Jauh sebelum Husserl, Hegel telah menyebut feomenologi, tetapi ranah filsafat Hegelian adalah filsafat transedental, sedangkan Husserl mengemas ide-ide pokok filsafatnya dalam makna keseharian (everyday life). Logika Husserlian menekankan pada hubungan manusia dengan dan dalam pengalamannya memiliki pengetahuan valid yang diteguhkan dengan ide metafisis dari muridnya, Martin Heidegger, yang berkata bahwa manusia adalah “yang-ada-di-dunia” (Being-in-the-World). Artinya bahwa manusia, karena pengalamannya, adalah produsen-produsen pengetahuan sekaligus wilayah pengetahuan itu sendiri.

Sama halnya dengan Husserl dan Heidegger, seorang Alfred Schutz juga beranggapan bahwa pengetahuan itu tidak melulu berasal dari ruang-ruang formal, melainkan dari everyday life. Kebenaran ilmu pengetahuan tidak terjadi dalam pemukulan palu atau gong yang menandai dimulinya suatu acara, tetapi terletak pada kesadaran akan pesona keseharian. Schutz menggiring fenomenologi Husserl pada konstruksi makna dalam sebuah societas, sehingga fenomenologi Schutzian menambah implikasi baru dalam metodologi penelitian ilmu sosial, bukan hanya berbicara pada ranah filsafat seperti apa yang telah dilakukan oleh bapak fenomenologi Edmun Husserl.

Lebih kompleks lagi menurut Berger dan Luckmann (1990: 34)[3]Berger et al. (1990) pengetahuan yang valid atau akal sehat adalah pengetahuan yang dimiliki bersama-sama dengan masyarakat dalam rutinitas kehidupan sehari-hari. Kenyataan mengetahui pengetahuan ini sangat sulit untuk disangsikan karena sudah menjadi kebiasaan atau rutinitas dalam kehidupan bermasyarakat.

Berger dan Luckmann menjelaskan bahwa sosiologi pengetahuan memperoleh proposisi akarnya dari seorang Karl Marx, yakni bahwa kesadaran manusia ditentukan oleh keberadaan sosialnya. Konsepsi sosiologi pengetahuan ini memunculkan banyak perdebatan tentang bentuk determinasi sosial seperti apa dan bagaimana yang dimaksudkan oleh Marx.

Pertarungan pendapat mengenai determinasi sosial ini lebih tepatnya tidak terjadi pada jaman sosiologi pengetahuan Berger dan Luckmann, melainkan pada “ zaman sosiologi klasik”. Berger menyadari bahwa Marx adalah peletak dasar konsepsi ini, namun Berger dan Luckmann lah yang dengan cerdik dan analitis, yang mampu mematenkan konsepsi ini.

Berger dan Luckmann (1990: 8)[3]Berger et al. (1990) menyebutkan bahwa konsep sosiologi pengetahuan miliknya sangat terpesona dengan konsep kembar Marx mengenai “substruktur/superstruktur”. Konsep kembar ini kemudian memantik perdebatan interpretatifnya. Marx cenderung mengiddentifikasi “substruktur” hanya dengan strutur ekonomi, lalu “superstrukturnya” diandaikan sebagai suatu refleksi yang langsung darinya.

Adalah Max Scheler yang kemudian meminjam skema “sub/superstruktur” Karl Marx untuk mengkonsepsikan sosiologi pengetahuan miliknya. Scheler lalu dengan pengertian bahwa ada semacam hubungan antara pemikiran dan suatu “kenyataan” yang mendasarinya (Berger dan Luckmann, 1990: 9)[3]Berger et al. (1990).

Pemikiran Berger dan Luckmann mengeni “kenyataan” dan “pengetahuan” memang berangkat dari seorang Max Scheler, yakni filsuf Jerman yang menemukan istilah sosiologi pengetahuan pada tahun 1920-an. Ini merupakan kunci terbentuknya teori Berger dan Luckmann mengenai konstruksi realitas sebagai analisa sosiologi pengetahuan terhadap pembentukan kenyataan (Berger dan Luckmannn, 1990: 5)[3]Berger et al. (1990).

Marx Scheler selalu berpendapat bahwa ada semacam hubungan antara pemikiran dan suatu “kenyataan” yang mendasarinya, yang lain dari pemikiran itu sendiri. Perumusan teoritis dari kenyataan, apakah itu ilmiah atau filosofis atau bahkan mitologis, tidak mencakup keseluruhan apa yang “nyata” bagi anggota-angota suatu masyarakat.

Selain dipengaruhi oleh Marx Scheler, pemikiran Berger dan Luckmann[1]Berger et al. (1966) mengenai konstruksi realitas dipengaruhi oleh landasan kehidupan sehari-hari yag dicetuskan oleh gurunya, yakni Alfed Schutz. Selain itu, berbagai pengandaian antropogisnya dipengaruhi oleh Marxian, terutama implikasi-implikasi antropologis yang telah ditarik dari biologi manusia oleh Helmuth Plessner, Arnold Gehlen dan lainnya. Mengenai kenyataan sosialnya, Berger dan Luckmann dipengaruhi oleh pemikiran Emile Durkheim dalam mazhab sosiologi Perancisnya tentang “struktur”, meskipun mereka telah memodifikasinya dengan konsep dialektis dari Marx dan pemberian tekanan kepada konstitusi kenyataan sosial melalui makna-m akna subyektif yang diambil dari Weber. Sementara itu, perandaian psikologi-sosialnya dipengaruhi oleh George Herbet Mead dan beberapa teoretisi yang mengembangkan madzhab interaksionisme s imbolik dari sosiologi Amerika.

Kunci teori konstruksi realitas terletak pada d ialektika Berger; eksternalisasi, obyektivasi, internalisasi yang dipengaruhi oleh dialketika Hegel yang dipahami sama sebagaimana telah ditetapkan pada kolektivitas fenomena-fenomena oleh Marx. Istilah internalisasi dipahami sebagaimana dipakai dalam psikologi sosial Amerika yang dasar teoritisnya berasal dari George Herbert Mead dalam tulisannya yang berjudul Mind, Self, and Society (Berger, 1991:5)[5]Berger (1991).

Secara garis besar Pemikiran Berger kuat dipegaruhi oleh pemikiran Weber mengenai tindakan sosial “ makna subyektif ”, fenomenologi Edmund Husserl mengenai analisis kesadaran, dan fenomenologi Alfred Schutz yang mengembangkan fenomoenologi Husserl menjadi lebih sosiologis. Peter L. Berger bersama Thomas Luckmann memperjelas gagasan Husserl tentang dunia kehidupan yang lebih terbuka versi “ subyektif ” dari dominasi paradigm fungsionalis dalam sosiologi Amerika pada akhir 1960-an. Berger dan Luckmann memperkenalkan kembali obyek/subyek yang berbeda dalam inti teori pelembagaan sosiologis mereka. “ Lifeworld ” di sini menjadi realitas “ sehari-hari ”, untuk dipahami sebagai interpretasi aktor sosial dalam sikap yang alami. Fenomenologi, dalam versi ini, lebih berhutang pada pemikiran Talcott Parsons daripada Edmund Husserl. Kemudian implikasi metodologis dan teoritis dari posisi ini dikembangkan oleh Harold Garfinkel sebagai “ Ethnometodology ”, yang dianggap sebagai sekularisasi dari fenomenologi; sebuah pendekatan yang membatasi diri pada kritik konvensional positivism dalam ilmu-ilmu sosial dan menunjukkan kehidupan sehari-hari dari lokus aktor sosial (Garfinkel, 1967; Ferguson, 2001: 224).[11]Ferguson and Smart (2001)

Hal yang menarik dalam penelitian etnometodologi adalah pengarahan untuk tersedianya analisis rinci, bahwa penggambaran fenomena dapat dibuktikan melalui pencapaian praktis. Penekanan metode ini ada pada tindakan yang sedang berlangsung, yakni pada kumpulan praktik komunikasi secara khusus dari individu yang berbeda dengan apa yang biasanya ia komunikasikan, yang dalam hal ini disebut oleh Garfinkel sebagai “ glossing practices ” atau tindakan yang dikonstruksi (Garfinkel & Sacks, 1986: 160)[12]Garfinkel, Sacks, and Garfinkel (1986).

Konsep Kunci: Eksternalisasi, Obyektivasi, dan Internalisasi

Berger dan Luckmann (1990: 185)[3]Berger et al. (1990) menggunakan proses dialektis yang dialami oleh manusia melalui tiga momen; eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi. Momen-memen tersebut tidak selalu berlangsung dalam suatu urutan waktu, namun masyarakat dan tiap individu yang menjadi bagian darinya secara serentak dikarakterisasi oleh ketiga momen itu, sehingga analisa dari masyarakat harus melalui tiga momen tersebut.

Dalam eksternalisasi,[3] Berger et al. (1990) menyebutkan tataan sosial atau ruang kontestasi societas sebagai produk manusia, atau lebih tepatnya suatu produksi manusia yang berlangsung secara kontingen. Ia diproduksi oleh manusia sepanjang eksternalisasinya yang berlangsung secara terus-menerus. Produk-produk dari eksternalisasi manusia mempunyai sifat sui generis dibandingkan dengan konteks organismis dan konteks lingkungannya, maka eksternalisasi merupakan suatu keharusan antropologis. Oleh karena itu, keberadaan manusia harus terus-menerus mengeksternalisasikan diri dalam aktivitas. Manusia akan mengusahakan terjalinnya kestabilan hubungan dengan lingkungan sosialnya.

Habitualisasi di atas pada akhirnya akan menjadi sebuah pola tindakan dari manusia. Sudah tentu tindakan-tindakan yang sudah dijadikan sebagai kebiasaan itu tetap mempertahankan sifatnya yang bermakna bagi individu, meskipun makna-makna yang terlibat di dalamnya sudah tertanam sebagai hal-hal yang rutin dalam khasanah pengetahuannya yang umum, yang olehya telah diterima begitu saja dan tersedia bagi proyek-proyek futuristik.

Proses pelembagaan manusia dimulai sejak awal manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Pengalaman sehari-hari akan menuntun tiap individu untuk memiliki tipifikasi yang khas dan dapat diekspreskan melalui pola-pola tingkah laku yang spesifik saat berinteraksi dengan individu lainnya. Ini merupakan suatu rangkaian pembangunan latar belakang individu yang akan menentukan pembagian kerja di antara individu-individu dalam kelompok sosial.

Obyektivitas dunia kelembagaan adalah obyektivitas yang dibuat dan dibangun oleh manusia. Eksternalisasi dan obyektifiksi merupakan momen-momen dalam suatu proses dialektis yang berlangsung secara terus-menerus. Dengan demikian masyarakat merupakan produk manusia atau dengan kata lain masyarakat adalah produsen dan konsumen sosial. Pengetahuan primer mengenai tatanan kelembagaan ialah pengetahuan pada tingkat pra-teori. Semuanya meliputi kaidah-kaidah, moral, kata-kata mutiara keijaksanaan, nilai-nilai, dan kepercayaan-kepercayaan, mitos-mitos, dan lain sebagainya.

Lembaga sosial menjadi perantara obyektifikasi untuk dipahami sebagai kenyataan oleh anggota-anggotanya. Pengetahuan mengenai masyarakat merupakan suatu perwujudan nyata dalam arti ganda, yaitu kenyataan yang diobyektivikasikan, dan dalam arti bagaimana kenyataan itu diproduksi secara terus-menerus.

Selain itu[3]Berger et al. (1990) juga menyebutkan bahwa dunia kehidupan sehari-hari memiliki struktur ruang dan waktu. Struktur waktu membuat seseorang harus menyesuaikan tindakannya sesuai dengan klasifikasi yang dimiliki. Ini semacam hirarki dalam tatanan sosial yang membuat seseorang tersebut terikat dengan peran-peran sosialnya. Sementara ruang akan membatasi seseorang dalam menentukan tindakan sesuai dengan siapa orang tersebut berinteraksi.

Hal terpenting dalam obyektifikasi adalah signifikasi. Sebuah tanda dapat dibedakan dari obyektivasi-obyektivasi lainnya. Sebagai contoh, sebuah senjata mungkin saja semula dibuat untuk digunakan dalam memburu binatang, tetapi di kemudian hari (katakanlah dalam upacara-upacara) dapat menjadi satu tanda dari sikap agresif dan kekerasan pada umumnya.

Maka dari itu, salah satu konsep penting yang ditawarkan oleh Berger ialah adanya obyektifikasi dari tindakan yang dilakukan oleh seseorang. Setiap tema penandaan dengan demikian menjembatani wilayah-wilayah kenyataan, dapat didefinisikan sebagai sebuah simbol, dan modus linguistik dengan apa transendensi seperti itu dicapai.

Pada proses dialektis yang terahir[3]Berger et al. (1990) menunjukkan bahwa individu tidak dilahirkan sebagai anggota masyarakat, tetapi ia dilahirkan dengan suatu pradisposisi (kecenderungan) ke arah sosialitas, dan ia selalu menjadi anggota masyarakat. Oleh karenanya, dalam kehidupan setiap individu, memang ada suatu urutan waktu, da selama itu ia diimbas ke dalam partisipasi dalam dialektika masyarakat.

Titik awal dari urutan waktu ini ialah internalisasi: pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu peristiwa obyektif sebagai pengungkapan suatu makna. Artinya, terjadi interaksi makna yang termanifestasi dari proses-proses subyektif orang lain yang dengan demikian menjadi bermakna subyektif bagi individu tersebut.

Tahap ini lah yang menjadikan individu bagian dari masyarakat. Untuk mencapai internalisasi, individu akan terlebih dahulu mendapatkan sosialisasi, yang dapat diidentifikasikan sebagai pengimbasan individu secara komprehensif dan konsisten ke dalam duia obyektif suatu masyarakat atau salah satu sektornya. Sosialisasi sendiri dibagi menjadi dua: primer dan sekunder. Sosialisasi primer adalah sosialisasi yang paling pertama dialami oleh individu, yaitu pada masa kanak-kanak, yang dengan itu ia menjadi anggota masyarakat. Sedangkan sosialisasi sekunder adalah proses-proses lanjutan yang mengimbas individu yang sudah tersosialisasi itu ke dalam sector-sektor baru dunia obyektif masyarakatnya (Berger dan Luckmann, 1990: 187)[3]Berger et al. (1990).

Dalam sosialisasi primerlah dunia obyektif individu terbentuk. Sosialisasi primer menciptakan kesadaran suau abstraksi yang semakin tinggi dari peranan-peranan dan sikap orang-orang lain tertentu ke peranan-peranan dan sikap-sikap pada umumnya. Dalam hal ini dicontohkan dengan sikap ibu yang marah pada anaknya. Ibu marah setiap kali anaknya menumpahkan sup. Sementara itu orang-orang berpengaruh lainya (ayah, nenek, kakek, kakak, dan sebagainya) mendukung sikap ibu yang negatif tersebut. Maka keumuman norma itu akan diperluas secara subyektif oleh si anak.

Sosialisasi primer akan berakhir ketika konsep tentag orag lain pada umumnya telah terbentuk dan tertanam dalam kesadaran individu. pada titik ini ia telah menjadi angota efektif masyarakat dan secara subyektif memiliki suatu diri dan sebuah dunia. Kendati demikian, sosialisasi tidak terjadi sekali ini saja. Bagaimana sosialisasi primer itu dipertahankan oleh individu dan bagaimana sosialisasi sekunder akan berlangsung sesudahnya.

Sosialisasi sekunder dipahami sebagai internalisasi sejumlah “ subdunia ” kelembagaan atau yang berlandaskan lembaga. Oleh karena itu, lingkup jangkauan dan sifatnya ditentukan oleh kompleksitas pembagian kerja dan distribusi pengetahuan dalam lingkungan sosial yang ditempati atau yang dalam hal ini kita sebut sebagai eksternalisasi.

Setalah internalisasi tersebut berhasil dialami oleh individu, maka yang terjadi selanjutnya ialah tumbuhnya proses interkasi sosial yang lebih jauh dari sekedar sosialisasi. Individu akan berhadapan dengan intersubyektifitas komunikasi dalam lembaga sosialnya. Dengan demikian, individu hendaknya dapat mengunakan bahasa-bahasa atau simbol-simbol yang obyektif untuk mencapai kesepahaman bersama antar subyektifitas.

Dalam percakapan, obyektifikasi bahasa menjadi obyek kesadaran indivi du (Berger dan Luckmann, 1990: 220).[3]Berger et al. (1990) . Fakta yang mendasar dari pemeliharaan-kenyataan itu adalah penggunaan bahasa dan simbol yang sama secara terus-menerus untuk mengobyektifikasi pengalaman biografis yang sedang berkembang. Dalam arti yang paling luas, maka semua orang yang menggunakan bahasa yang sama ini adalah orang-orang lain yang memelihara kenyataan.

Dengan demikian, kenyataan subyektif selalu tergantung pada struktur kemasuk-akalan dalam suatu kelompok sosial-budaya. Misalnya dalam hal ini dicotohkan oleh Berger dan Luckmann seperti seorang Muslim yang tidak akan bisa tetap Muslim bila berada di luar ummat Islam, begitu pula seorang Buddhis di luar sangha, dan barangkali tidak ada pemeluk agama Hindu di luar India. Dengan ini maka keberadaan komunitas agama dianggap penting untuk memberikan struktur kemasuk-akalan yang diperlukan bagi kenyataan baru.

Bagi Berger, konstruksi realitas sosial adalah proses di mana seseorang bernteraksi dan membentuk realitas-realitas.[1]Berger et al. (1966). Menurut konsep ini, masyarakat bukanlah entitas obyektif yang berevolusi dengan cara yang ditentukan d an tidak dapat diubah. Manusia menciptakan realitas melalui interaksi sosial. Ketika manusia berinteraksi dengan orang lain, manusia akan terus memberikan pesan dan kesan, mendengarkan, mengamati, mengevaluasi, dan menilai situasi berdasarkan cara mereka disosialisaikan untuk memahami dan berinteraksi terhadap diri mereka. Melalui proses pemahaman dan pendefinisian peristiwa yang berlangsung, manusia menafsirkan realitas dan menegosisikan makna. Sebagai contoh seorang pekerja yang telah berulangkali didisiplinkan oleh manajemen perusahaannya mungkin melihat atasannya menyebark an percakapan sebagai pelecehan, intimidasi, atau pemeriksaan ketat terhadap pekerja. Seorang pekerja yang tidak mengalami pendisiplinan mungkin menganggapnya sebagai percakapan yang ramah (Stolley, 2005: 69)[2]Stolley (2005).

Pendapat Stolley di atas sama dengan apa yang dimaksudkan oleh Berger bahwa manusia adalah produk manusia. Dalam hal ini individu adalah agen sosial yang menurut dialektika Berger selalu melakukan eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan lingkungan sosialnya. Masyarakat tidak lain adalah produk dari intersubyektivitas. Artinya, masyarakat dibentuk oleh individu-individu, yang kemudian individu-individu tersebut juga harus memasyarakatkan dirinya melalui internalisasi atau peresapan kembali nilai-nilai atau norma-norma yang sudah terbentuk dalam masyarakat bentukan.

KESIMPULAN

Penutup: Kritik Terhadap Pemikiran Peter L. Berger

Secara garis besar teori konstruksi sosial Berger tidak menyediakan analisis terperinci terhadap interpratasi manusia dan kegunaannya terhadap media massa sebagai media terbesar yang bersifat konstruktif pada pengetahuan manusia. Menurut[13]Karman (2015) gagasan Peter L. Berger diko reksi oleh Jaques Derrida dengan gagasan dekonstruksi. Inti dari dekonstruksi terletak pada proses dekonstruksi makna di masyarakat terhadap teks, wacana, dan pengetahuan di masyarakat. Gagasan Derrida kemudian menghasilka n tesis-tesis keterkaitan antara kepentingan (interest) dengan metode penafsiran (interpretation) atas sebuah realitas sosial. Derrida menegaskan bahwa kepentingan selalu mengarahkan manusia pada pemilihan metode penafsiran. Gagasan Derrida ini menurut[13]Karman (2015) sejalan dengan pemikiran Habermas, yang lebih dahulu mengemukakan adanya hubungan strategis antara pengetahuan manusia (baik empiris- analitis, historis-hermeneutik, maupun kr itis) dengan kepentingan (teknis, praktis, atau yang bersifat emansipatoris), meski tak dapat disangkal bahwa yang terjadi juga sebaliknya, yakni “pengetahua n” adalah produk “kepentingan”.

Kritik kedua datang dari Burhan Bungin dalam bukunya yang berjudul “Konstruksi Sosial Media Massa (2008)"[14]Bungin (2008)”. Bungin menyebut bahwa basis teori konstruksi sosial Berger adalah masyarakat transisi-moderen di Amerika pada tahun 1960-an, di mana media mass a belum menjadi fenomena sosial dan basis riset para akademisi. Dalam kesempatan ini Bungin menjadi akademisi yang memasukkan media massa sebagai variabel dalam konstruksi realitas sosial. Pada dasarnya konstruksi sosial Berger dinilai berjalan sangat lamban dan tidak tajam melihat konstruksi pengetahuan di masyarakat tanpa adanya variabel media massa. Selain itu pandangan Berger dianggap tidak mampu menjawab tantangan perkembangan jaman masyarakat moderen dan postmoderen di seluruh dunia yang dengan cepat merubah citizen menjadi netizen karena adanya perubahan media massa. Hal ini menyebabkan teori Berger tidak relevan lagi utnuk menganalisa konstruksi sosial di era sekarang

References

  1. Berger Peter, Luckmann Thomas, Penguin Group: England; 1966.
  2. Stolley Kathy S, Greenwood Press: London; 2005.
  3. Berger Peter L, Luckmann Thomas, LP3ES: Jakarta; 1990.
  4. Berger Peter L., Qirtas: Yogyakarta; 1981.
  5. Berger Peter L, LP3ES: Jakarta; 1991.
  6. Berger Peter L, LP3ES: Jakarta; 1990.
  7. Berger Peter L, LP3ES: Jakarta; 1982.
  8. Berger Peter L, Berger B, Kellner Hansfried, Kanisius: Yogyakarta; 1992.
  9. Gordon Scott, Routledge: New York; 1990.
  10. Riyanto Armada E., Kanisius: Yogyakarta; 2014.
  11. Ferguson Harvie, Sage Publication: London; 2001.
  12. Garfinkel Harold, Sacks Harvey, Routledge Kegan Paul Inc: London; 1986.
  13. Karman Konstruksi Realitas Sebagai Gerakan Pemikiran (Sebuah Telaah Teoretis Terhadap Konstruksi Realitas Peter L. Berger). Jurnal Penelitian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika. 2015; 5(3):11-23.
  14. Bungin Burhan, Kencana: Jakarta; 2008.