Abstract

is a form of ritual that still exists among the coastal community which is full of elements of intercultural communication. This study aims to analyze communication in the ritual in and Villages, Sidoarjo Regency. This qualitative research uses the communication ethnographic approach presented by . Data collection was carried out with participant observation and in-depth ethnographic interviews with nine informants. The sampling technique uses sampling. After being collected, the data were analyzed by SPEAKING analysis from . The results showed that the rite is a communication made by the fishing community as a form of gratitude to Allah SWT who has provided an abundance of sustenance. Second, the offerings in the ceremony are symbols that have the meaning of a blessing in life and success at work. Third, is a form of local wisdom manifested in cooperation, giving, environmental preservation, and hospitality.

Pendahuluan

Komunikasi ritus adalah proses penyampaian pesan dan doa-doa yang dilakukan komunitas tertentu kepada Sang Pencipta agar dapat menghubungkan dengan Para Leluhur melalui ritual sebagai medianya dan berbagai macam bentuk sesajian sebagai kelengkapannya. Ritus-ritus ini dapat berupa berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, berpuasa, bertapa dan bersemedi. Komunikasi ritus banyak dilakukan oleh masyarakat keberagamaan dan berkebudayaan sebagai perwujudan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas limpahan kenikmatan, kebahagiaan, rezeki, kesehatan yang diberikan-Nya kepada setiap manusia.

Istilah Nyadran berhubungan dengan ritual agama Islam masyarakat Jawa. Pada umumnya Nyadran dinilai sebagai hasil dari proses asimilasi budaya yang melibatkan tiga agama; Islam, Hindu, dan Budha. Dalam agama Hindu-Budha, Nyadran identik dengan Sharadda atau Meruwat, yakni budaya berziarah ke makam leluhur, yang kemudian dijadikan sebagai pendekatan dakwah oleh beberapa pendakwah agama Islam di tanah Jawa dengan mengubah serta menetapkan momentum berziarah pada akhir bulan Ruwah atau hari-hari menjelang datangnya bulan ramadhan (Hartoyo, 2017).

Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Budi Setiawan pada tahun 2016. Ziarah kubur atau sejenisnya merupakan hasil konstruksi sosial sebagai cara terpenting untuk memelihara religiusitas masyarakat setempat dan juga dapat dikembangan oleh pemerintah dan masyarakat sebagai wisata ziarah. Kubur yang dikeramatkan oleh masyarakat Bawean adalah kubur Siti Zaenab, yang dipercaya sebagai peyebar agama Islam di daerah setempat (Setiawan, 2016).

Siti Zaenab dan Dewi Sekardadu sama-sama memiliki sisi keramat bagi masyarakat lokal yang beragama Islam. Sebelum didakan nyadran, biasanya masyarakat akan mengadakan haul.Hanif (2016) menyebutkan bahwa haul juga menampilkan sebuah motif yang unik dari masyarakat, yaitu motif agama yang diaplikasikan melalui cara yang tidak murni agama, yaitu refleksi sejarah. Meskipun secara keseluruhan, haul lebih banyak bernuansa agama, kecuali hanya refleksi sejarah sebagai acara intinya saja. Di samping sebagai tindakan sosial, haul juga merupakan tindakan agama. Sehingga apa yang kita katakan tentang ritual sosial keagamaan adalah sebuah ritual keagaman yang dilakukan secara sosial; mengandung motif agama; namun tujuan intinya tampak tidak murni agama, akan tetapi menyediakan makna-makna agama yang dapat diambil untuk memperbaiki kualitas keagamaan.

Haul dan Nyadran oleh masyarakat Desa Balongdowo, Desa Sawohan, dan Desa Bluru Kidul dilaksanakan di bulan yang berbeda. Masyarakat Desa Balongdowo menyelenggarakan Nyadran menjelang bulan puasa, masyarakat Sawohan mengadakan haul menjelang bulan puasa, sedangkan masyarakat Bluru Kidul menyelenggarakan Nyadran di bulan Maulud. Yang unik dari tradisi ini adalah semua kegiatan Nyadran berpusat Dusun Kepetingan tempat Dewi Sekardadu dimakamkan.Al-Aliyah (2018) mengatakan bahwa Nyadran di Sidoarjo merupakan kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun di Dusun Kepetingan sebagai rasa syukur kepada Allah SWT. Upacara yang dilakukan ini memiliki makna dan nilai yang tinggi bagi kehidupan masyarakat dan budaya setempat. Upacara nyadran yang merupakan kepentingan masyarakat dua desa diselenggarakan secara bersama-sama dan bergotong-royong.

Bermula dari paparan tersebut, peneliti tertarik menulis penelitian ini dari perspektif etnografi komunikasi yang disampaikan oleh Hymes (1972). Tujuannya adalah mendeskripsikan komunikasi ritus pada tradisi Nyadran di Sidoarjo dari perspektif etnografi komunikasi.

Metode Penelitian

   Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan eksploratif. Lokasi penelitian berada di dua desa, yaitu Desa Balongdowo Kecamatan Candi dan Dusun Kepetingan Desa Sawohan Kecamatan Buduran. Alasan penentuan dua desa tersebut sebagai pangkal penelitian karena kedua desa tersebut merupakan desa wisata religi tempat penyelenggaraan tradisi nyadran bagi masyarakat nelayan di daerah pesisir Sidoarjo. Pengambilan data dilakukan dengan observasi partisipan. Data juga diambil melalui wawancara etnografi terhadap sembilan informan, yaitu Edy Suwanto, Samadi, Koko Prayitno, Moch.Yatim, Bu Muna, Gufron Hadiwinarno, H. Waras, Kepala Desa Sawohan, dan Kepala Desa Balongdowo. Penganalisisan data dilakukan dengan menggunakan teknik analisis SPEAKING dari Hymes (1972). Speaking merupakan akronim dari (S) Setting and scene, (P) Participants, (E) End, (A) Act Sequence, (K) Key, (I) Instrumentalities, (N) Norms of interaction and interpretation, (G) Genre. Setting atau latar mengacu pada tempat dan waktu terjadinya ritual Nyadran. Scene merujuk pada peristiwa Nyadran. Participans mengacu pada anggota dan warga masyarakat di Desa Balongdowo dan Sawohan yang terlibat dalam tradisi Nyadran baik sebagai pembicara ataupun pendengar, penyapa ataupun pesapa (yang disapa), dan pengirim atau penerima pesan. End merupakan tujuan diadakannya ritual Nyadran setiap tahun di bulan Maulud Nabi dan menjelang Ramadhan. End merupakan maksud dan tujuan kegiatan petik laut/tradisi Nyadran di pesisir laut Sidoarjo diselenggarakan. Act Sequence mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran, bentuk ujaran berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topic pembicaraan 6. Key mengacu pada nada, cara, dan semangat tradisi petik laut dalam bentuk pesan disampaikan dengan senang hati, serius, singkat, sombong, mengejek, dan sebagainya. Hal ini ditunjukkan dengan gerakan tubuh dan isyarat 6. Instrumentalities mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tetulis, melalui telegram atau telepon (Marwan, 2018).

Hasil dan Pembahasan

Asal Mula Nyadran di Dusun Kepetingan

Nyadran merupakan cara untuk mengagungkan, menghormati, dan memperingati roh leluhur. Dalam ritual Nyadran ada dua tahap yaitu tahap selametan dan tahap ziarah. Pada tahap selametan biasanya orang membakar sesajen baik berupa kemenyan atau menyajikan bunga setaman. Setelah memeberi sesajen, kemudian masyarakat melakukan tahap kedua yaitu ziarah ke makam. Upacara Nyadran di Dusun Kepetingan Desa Sawohan mulai muncul sejak adanya penemuan jasad Dewi Sekardadu yang meninggal karena mencari putranya Raden Paku yang dibuang ke laut oleh Raja Minak Sembuyu, yang merupakan ayah dari Dewi Sekardadu. Upacara ini dilakukan oleh para nelayan yang berasal dari desa Balongdowo, Desa Bluru Kidul, dan masyarakat Dusun Kepetingan. Namun masyarakat dari luar desa yang ingin ikut serta merayakan tradisi Nyadran juga diperbolehkan untuk ikut serta. Upacara Nyadran sebagai wujud penghormatan dan mendoakan arwah Dewi Sekardadu. Lebih dari itu, upacara Nyadran juga sebagai wujud syukur dan terimakasih yang dilakukukan kaum nelayan kepada Pencipta alam semesta.

Upacara Nyadran ini sudah dilakukan sejak jaman Majapahit, yakni pada tahun 1284 atau pada masa kerajaan Hindu-Budha. Di abad ke 13, agama Islam mulai masuk ke Indonesia dan tradisi Nyadran mulai mengalami akulturasi dengan nilai-nilai Islam. Walisongo membuat akulturasi tersebut semakin kuat antara budaya Jawa dengan nilai-nilai Islam agar mudah diterima oleh masyarakat.

Masyarakat yang melakukan upacara Nyadran hampir semuanya beragama Islam, dan menganut ajaran Walisongo. Ajaran tersebut merupakan perpaduan dari kebudayaan Jawa dan Islam. Tradisi Nyadran diadakan dengan tujuan untuk mendoakan arwah leluhur atau arwah nenek moyang agar jiwanya tentram di alam keabadian. Hal ini diungkapkan oleh Ibu Muna saat wawancara di Dusun Kepetingan pada tanggal 06 mei 2018.

Nyadran dalam Perspektif Hymes

Dalam penelitian ini penulis memaparkan hasil penelitian dengan analisis SPEAKING yang disampaikan oleh Hymes (1972) berikut:

a. Setting and Scene (latar atau suasana)

Setting atau latar merupakan tempat dan waktu terjadinya suatu peristiwa. Sedangkan scene adalah latar psikis yang lebih mengacu pada suasana psikologis yang menyertai peristiwa (Mulyana, 2005). Upacara Nyadran berlangsung pada latar tempat dan latar waktu tertentu, yang melibatkan para peserta dalam setiap situasi. Latar tempat yang digunakan dalam Nyadran berbeda-beda. Pertama digunakan balai desa untuk pagelaran wayang kulit. Balai desa dipilih karena dapat menimbulkan suasana formal dan terbuka untuk umum. Kemudian sungai Pecabean, di mana merupakan satu-satunya transportasi air dari Balongdowo menuju Kepetingan dan teluk Permisan, tempat mereka melarung sesajen. Setelah itu Nyadran juga dilakukan di makam Dewi Sekardadu, yang dipercaya sebagai orang suci dalam agama Islam, agar acara Nyadran berada dalam suasana hikmad dan religious.

b. Partisipants (peserta)

Partisipants adalah siapa saja yang terlibat dalam suatu peristiwa tersebut, bisa sebagai penerima dan pengirim pesan, penyapa dan pesapa, ataupun pembicara dan pendengar. Yang termasuk sebagai peserta upacara Nyadran adalah orang-orang yang dianggap hidup bukan roh-roh halus yang dilibatkan dalam ritual Nyadran.

Peserta yang termasuk dalam upacara Nyadran adalah Mudin atau penghulu, polisi, petugas dari dinas perikanan, perangkat desa, masyarakat Balongdowo, Bluru Kidul dan Dusun Kepetingan. Peserta upacara Nyadran juga bisa diikuti oleh masyarakat dari luar desa secara gratis.

c. End (akhir)

End (akhir) adalah suatu pencapaian atau sebuah tujuan dari pelaku komunikasi dalam suatu peristiwa. End merupakan target atau sasaran yang harus dicapai. Maksud dan tujuan masyarakat melaksanakan upacara Nyadran adalah sebagai wujud rasa terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil tangkapan kupang (sejenis kerang) yang melimpah dalam satu tahunnya.

d. Act sequence (urutan tindakan)

Act sequence (urutan tindakan) mengacu pada tahapan dalam bertindak dan didalamnya terdapat suatu bentuk dan isi yang diungkapkan dalam peristiwa. Act menrujuk pada pesan yang dikeluarkan oleh topik pembicara yang disampaikan dengan urutan tertentu. Ini berkaitan dengan tata organisasi teks yang mewadahi isi yang disampaikan. Dalam upacara Nyadran didapati bagaimana tahap-tahap awal perencaan acara dan pecapaian tujuan awal.

Persiapan upacara Nyadran dimulai dari dua bulan sebelumnya untuk mengatur persiapan dari pembentukan panitia, pengumpulan dana, surat izin, hingga perlengkapan yang dibutuhkan. Ketika hari pelaksanaannya, masyarakat dikumpulkan di balai desa untuk persiapan pemberangkatan dengan memulai arak-arakan tumpeng diiringi terbang jidor yang dibawa ke arah dermaga atau tempat berkumpulnya perahu.

Tujuan utama mereka adalah ziarah dan berdoa di makam Dewi Sekardadu. Setelah itu mereka akan pergi ke laut untuk melarung sesaji, memnbagikan tumpeng pada masyarakat, dan kembali pulang diiringi perahu-perahu yang sudah dihias dan dilengkapi dengan sound system seperti pada gambar berikut:

Figure 1. Para peserta Nyadran

e. Key (Kunci)

Key (kunci) merupakan faktor kelima yang mencakup nada, sifat atau semangat yang ingin disampaikan. Nada yang dimaksudkan mengacu pada intonasi tinggi atau rendah. Sedangkan yang terkait dengan kondisi psikologis peserta terlibat baik dalam keadaan santai atau kaku. Hymes (1972) mengklasifikasikan langkah kelima ini sebagai kunci nada atau sifat dalam keberhasilan suatu percakapan.

Pada upacara Nyadran kunci terlihat pada penyampaian sambutan yang disampaikan secara santai namun lantang yang bertujuan untuk membangkitkan semangat peserta dan menjaga kekompakan saat melakukan ritual.

f. Instrumentalities (instrumentalitas)

Instrumentalities (instrumentalitas) merupakan alat atau saluran atau bahasa yang digunakan dalam komunikasi seperti tatap muka dengan peserta, yang menggunakan komunikasi lisan atau verbal, melalui telepon, surat atau saluran lainnya. Instrumentalities juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek, fragam, atau register ().

Peralatan yang disiapkan dalam proses upcara Nyadran adalah satu set panggung, sound system, perahu dan beberapa makanan seperti tumpeng, sayuran, aneka kue basah yang dibawa oleh masyarakat. Beragam makanan tersebut memiliki makna tersendiri yaitu: nasi putih yang bermakna agar masyarakat hidup dalam kesucian, ayam bermakna agar saling membantu diantara sesama, sayuran bermaksud agar hidupnya serba kecukupan, jajanan agar hasil tangkapan kupang nelayan memberikan berkah.

Sesajen berupa bunga dan dupa yang diletakkan di dalam wadah tumpeng, kemudian dilarung ke sungai oleh beberapa tokoh masyarakat. Setelah itu mereka melemparkan ayam hidup yang masih kecil ke laut dengan tujuan agar nelayan yang membawa anak bisa selamat saat pergi-pulang dan terhindar dari gangguan roh halus. Kemudian bunga yang ditabur ke sungai ditujukan agar kupang-kupang dapat terus bertelur. Makna tumpeng bagi mereka adalah gunungan kupang yang ada dilaut agar semakin menumpuk dan tidak habis meskipun diambil setiap hari. Mengenai makam Dewi Sekardadu, masyarakat menganggap sosok Dewi Sekardadu sebagai leluhur dan orang suci, karena Diyakini sebagai ibu kandung Sunan Giri dan isteri dari Maulana Ishaq, yang mana keduanya adalah bagian dari Walisongo.

g. Norms of interaction and interpretation (norma interaksi dan interprestasi)

Norms of interaction and interpretation (norma interaksi dan interprestasi) adalah norma atau aturan dalam menafsirkan pesan.. Norma-norma yang harus dilakukan dalam upacara Nyadran meliputi: (1) niat. Sebelum pemberangkatan masyarakat harus sudah berniat melakukan upacara Nyadran untuk mendoakan leluhur. (2) berkumpul. Berkumpul di depan dermaga persiapan pemberangkatan. (3) berdoa. Ini doa yang dianjurkan: “Assalamualaikum ahladiyaari minal Mu’miniina wak muslimiina wa innaa Insyaa Allahu bikum Laahiwuuna, Nasalulaaha lanaa walakumul ‘aafiyah” yang artinya “semoga keselamatan terlimpahkan kepada kalian wahai penduduk alam barzah, dari kaum mukminin dan muslimin. Sesungguhnya kami akan menyusul kalian insyaAllah, dan kami meminta Allah untuk kami dan kalian agar diberi keselamatan.” (HR. Ibnu Majah). (4) membersihkan makam. Makam Dewi Sekardadu dibersihkan dari rerumputan yang panjang dan mengumpulkan kotaran yang ada, sehingga makam terlihat bersih. (5) membaca surat yasin, tahlil, kemudian diakhiri dengan doa penutup. (6) menaburkan bunga di atas makam. (7) dilanjutkan dengan makan bersama yang sudah dibawa oleh masing-maisng pesertama sebagai wujud sedekah, yang maknanya agar kita selalu berbuat baik kepada sesama ketika memiliki rizki yang melimpah. Jika semua rangkaian acara Nyadran selesai, semua masyarakat saling bersalaman semata-mata untuk menyambung tali persaudaraan.

h. Genre (jenis/aliran)

Genre (jenis/aliran) adalah model percakapan yang merujuk pada variasi bahasa yang digunakan. Genre adalah bentuk teks dengan berbagai macam bentuk teks yang dikenal anatara lain pidato, ceramah, khotbah, drama, puisi dan sebagainya. Dalam penelitian ini genre terdapat dalam pembukaan acara. Pembawa acara membacakan susunan acara diawali dengan bahasa Arab secara pelan, kemudian dilanjutkan dengan membaca susunan acara menggunakan bahasa Indonesia secara lantang dan keras agar masyarakat dapat memaknai adanya semangat dari pesan yang disampaikan. Setelah itu para tokoh agama memimpin bacaan tahlil, yasin dan sholawat dengan menggunakan bahasa Arab.

Komunikasi Ritus dalam Tradisi Nyadran

Komunikasi ritus atau komunikasi ritual dipahami sebagai kegiatan berbagi, berpartisipasi, berkumpul, dan kepemilikan akan keyakinan yang sama 9. Nyadran adalah salah satu upacara ritual untuk berkumpul, berbagi dan berpatisipasi. Nyadran merupakan tradisi turun-temurun yang dilakukan oleh nenek moyang masyarakat pesisir Sidoarjo sebagai tanda rasa syukur atas nikmat yang dilimpahkan oleh Allah SWT. Namun mengenai kapan pastinya Nyadran itu dimulai tidak ada yang tau dari tahun berapa karena semua informasi yang disampaikan dari mulut ke mulut. Implementasi dalam ritus nyadran tidak dibatasi hanya dengan membersihkan makam-makam leluhur, selametan, atau hanya membuat makanan sebagai bentuk sesaji ataupun ritual doa. Namun nyadran juga dijadikan tempat sebagai ajang silaturrahmi keluarga dan menjadi transformasi sosial, budaya dan keagamaan.

Nyadran dilakukan oleh masyarakat Jawa khusunya nelayan di daerah Sidoarjo, tepatnya di Dusun Kepetingan Desa Sawohan. Upacara Nyadran diselenggarakan secara gotong-royong dari masyarakat Desa Balongdowo dan Desa Bluru kidul sedangkan Dusun Kepetingan Desa sawohan hanya sebagai tuan rumah untuk berlangsungnya upacara Nyadran, yakni situs makam Dewi Sekardadu.

Teori William Robertson Smith dalam 10 mengungkapkan adanya tiga asas-asas mengenai upacara sesaji dalam ritual religi. Pertama banyak agama yang masih melakukan upacara Nyadran meskipun dengan latar belakang sosial, keyakinan, maksud dan doktrin yang berubah. Peserta upacara Nyadran di Dusun Kepetingan hamper seluruhnya beragama Islam. Masyarakat melakukannya sebagai wujud syukur kepada Allah SAW akan hasil tangkapan kupang yang diperoleh selama satu tahun, dan juga sebagai rutinitas adat istiadat agar tidak hilang dari peradaban. 10 menggambarkan upacara Nyadran sebagai suatu upacara yang penuh kegembiraan, meriah, tetapi juga keramat dan kidmad.

Proses komunikasi yang terjadi dalam Nyadran ini tidak berpusat pada transfer (pemindahan) informasi, melainkan lebih menguntungkan sharing (berbagi) mengenai budaya bersama. Terdapat banyak symbol-simbol komunikasi dalam Nyadran, seperti makna nasi putih, tumpeng, bunga, dan lain sebgaainya yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.

a. Prosesi Nyadran

Proses Upacara nyadran di Dusun Kepetingan Desa Sawohan dilakukan dari dua desa dengan waktu yang berbeda namun sebelum itu dahulu upacara Nyadran dilakukan secara bersamaan. Seperti yang diungkapkan Pak Edy Siswanto (40), upacara nyadran dilakukan dua kali dalam satu tahun yaitu dari Desa Balongdowo dan Desa Bluru Kidul dengan waktu yang berbeda yaitu pada bulan ruwah dari Desa Balongdowo dan Bulan Mulud dari Bluru Kidul. Upacara Nyadran sudah menjadi tradisi turun-temurun yang dilakukan oleh masyarakat sabagai bentuk rasa syukur dengan karuniannya atas segala hasil laut yang sudah diperoleh dalam satu tahun.

Dalam proses upacara Nyadran atau yang biasa disebut petik laut, biasanya digunakan transportani perahu untuk menuju Dusun Kepetingan atau makam Dewi Sekardadu. Masyarakat yang akan melakukan upacara nyadran menyiapkan tumpeng secara mandiri. Dalam tumpeng tersebut berisikan nasi, ayam dan sayuran yang diletakkan di atas daun pisang. Tidak ada aturan pasti mengenai apa yang harus ada dalam tumpeng, karena hal itu bergantung pada kemampuan ekonomi masing-masing peserta, dan pemaknaan mereka terhadap tumpeng tersebut.

Prosesi upacara Nyadran dimulai dengan do’a pembuka yang dipimpin oleh modin atau tokoh agama dari awal hingga akhir dengan membacakan bacaan tahlil, yasin dan do’a. Setelah selesai pembacaan do’a warga mengambil kumpulan bunga yang terdiri dari bunga mawar merah, bunga gading, bunga kenanga, yang diberikan oleh juru kunci makam sebagai tanda agar memperoleh keberuntungan bagi keluarganya. Setelah itu dilanjutkan dengan saling berbagi makanan.

b. Fungsi Nyadran

Van Gennep dalam 10 berpendirian bahwa ritus dan upacara religi secara universal pada asasnya berfungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali semangat kehidupan sosial antara warga masyarakat.

Ritus dan Upacara Nyadran bagi para nelayan memiliki makna khusus di setiap ritual-ritualnya. Fungsi Nyadran bagi masyarakat nelayan adalah sebagai tanda syukur dan terimakasih atas nikmat dilimpahkannya hasil tangkapan kupang, sebagai permohonan agar dijauhkan dari malapetaka, dan sebagai tempat silaturahmi antar masyarakat dari wilayah-wilayah pesisir Sidoarjo.

Seperti yang diungkapkan oleh pak Sultoni (51), upacara Nyadran itu sebagai ruwah desa dan petik laut yang diadakan setiap tahunnya untuk mensyukuri dari mana kita setiap harinya makan, dari mana para nelayan memperoleh kupang kalau tidak dari laut. Menurut informan, para nelayan tidak pernah menabur benih kupang, hanya tinggal ambil saja dari laut, dan itu tidak pernah habis walaupun diambil setiap harinya.

Upacara nyadran dijadikan sebagai warisan budaya atau adat yang tidak boleh dilupakan oleh anak-cucu masyarakat nelayan. Masyarakat mempercayai jika tidak dilakukan upacara Nyadran, tangkapan kupang mereka akan berkurang, dan banyak pula nelayan yang pulang dari mengambil kupang kerasukan mahluk halus dari laut.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh 11 yang berjudul “Tradisi Nyadran sebagai Komunikasi Ritual” disebutkan bahwa tradisi Nyadran merupakan bentuk komunikasi ritual di kalangan masyarakat Jawa. Dalam Nyadran masyarakat melakukan ritual nyekar (ziarah makam) yang dipercayai mampu menghubungkan kepada sang pencipta dan para leluhur desa.

Sedangkan penelitian ini menemukan hasil bahwa ritual Nyadran di Desa Sawohan merupakan wujud rasa syukur dari para nelayan akan hasil laut yang diperoleh selama satu tahun. Lebih dair itu, dalam Nyadran ini peneliti menemukan berbagai makna simbolik dari semua prosesi Nyadran, mulai dari pemberangkatan, sesaji yang dilarung ke laut, hingga pengorbanan anak ayam saat mereka akan pulang menuju desa asal.

Kesimpulan

Komunikasi ritus dalam tradisi Nyadran di Desa Sawohan dilakukan secara simbolik seperti; pelemparan anak ayam, bunga, makanan, pembacaan yasin dan tahlil. Prosesi upacara Nyadran atau biasa disebut petik laut di Desa Sawohan dilakukan selama tiga hari, dimulai dari pagelaran wayang, ruwat desa, haul Dewi Sekardadu, pasar malam, hingga larung sesaji dengan menggunakan transportasi perahu ke teluk Permisan, Sidoarjo. Fungsi Nyadran di Desa Sawohan adalah sebagai wujud rasa syukur dari para nelayan akan hasil tangkapan kupang yang melimpah pada setiap tahunnya. Selain itu, Nyadran juga dijadikan sebagai sarana transformasi budaya pada generasi muda dan meningkatkan hubungan komunikasi antar desa-desa di pesisir Sidoarjo.

References

  1. Hartoyo The Study of the Social Realities of the Nyadran Tradition Among Fishing Communities. International Journal of Information Research and Review. 2017; 04(04):3994-4000.
  2. Setiawan Budi, Tradisi Ziarah Kubur: Agama Sebagai Konstruksi Sosial Pada Masyarakat di Bawean, Kabupaten Gresik.. Biokultur. 2016; 5(2):247-261.
  3. Hanif A, Tradisi Peringatan Haul Dalam Pendekatan Sosiologi Pengetahuan Peter L. Berger. Dialogia. 2016; 13(1):49-58.
  4. Al-Aliyah Abidah, Kearifan Lokal dan Komunikasi Ritus pada Tradisi Nyadran di Dusun Kepetingan. 2018.
  5. Hymes D, Holt, Rinehart and Wiston, Inc: New York; 1972.
  6. Chaer A, Agustina L, Rineka Cipta: Jakarta; 2010.
  7. Marwan R, Analisis Peristiwa Tutur berdasarkan Komponen SPEAKING Dell Hymes (Kajian Sosiolinguistik). 2018.
  8. Mulyana M, Penerbit Tiara Wacana: Yogyakarta; 2005.
  9. Carey J W, Routledge: New York; 1989.
  10. Koentjaraningrat Balai Pustaka: Jakarta; 1985.
  11. Tuti Siti Noer Tyas, Tradisi NYADRAN sebagai Komunikasi Ritual (studi kasus pada Desa Sonoageng Kabupaten Nganjuk).Laporan Penelitian. 2015.